Daftar Blog Saya

Jumat, 17 April 2015

Makalah Filsafat IBNU KHALDUN



I.     PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Dalam pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil penilaian para filosof, telah melahirkan berbagai macam pandangan. Adakalanya, beberapa pandangan saling mendukung, dan adakalanya pula berbeda dan saling berlawanan. Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh pendekatan yang dipakai berbeda-beda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Pemetaan demikian antara lain didasarkan pada konsep keilmuan yang melandasi aliran pemikiran pendidikan Islam. Menariknya, konsep keilmuan ternyata memang diakui sebagai salah satu tema sentral dalam spektrum tradisi intelektual Islam. Berdasarkan “peta” aliran itu, dapat menyimpulkan bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan uniform, melainkan variatif dan plural sebagaimana dalam tradisi pemikiran Keislaman lainnya.[1]

Dewasa ini dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam banyak menghadapi berbagai permasalahan. Sedangkan tidak semua masalah dalam dunia pendidikan dapat dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah semata. Diantara masalah dalam dunia pendidikan sedikit banyaknya memerlukan pendekatan filosofis dalam pemecahannya. Analisis filsafat terhadap masalah-masalah tersebut diharapkan dapat menghasilkan pandangan-pandangan tertentu mengenai masalah-masalah tersebut. Dari fenomena tersebut lahirlah apa yang dinamakan filsafat pendidikan Islam.
Uraian mengenai filsafat pendidikan Islam diharapkan akan banyak memberikan gambaran dan kemudahan dalam memahami problematika dunia pendidikan Islam. Munculnya filsafat pendidikan islam sebagai suatu ilmu baru adalah sebagai akibat adanya hubungan timbal balik antara filsafat dan pendidikan dalam Islam untuk memecahkan dan menjawab masalah-masalah pendidikan Islam secara filosofis. Dalam kajian makalah tentang filsafat pendidikan Islam penulis menghususkan pada konsep pendidikan dalam perspektif Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun adalah seorang sejarawan sosiologi yang banyak dikagumi oleh kalangan intelektual yang cinta akan ilmu pengetahuan baik dunia bagian Timur maupun Barat. Hal ini disebabkan pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun yang banyak tertuang dalam buku karangannya yang sangat terkenal dan fenomenal. Dari masa Ibnu Khaldun sampai pada saat ini pemikiran beliau masih sangat relevan digunakan.

B.     Rumusan masalah
1. Bagaimana riwayat Ibnu Khaldun?
2. Bagaimana konsep pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun?






II.  PEMBAHASAN

A.  Riwayat Ibnu Khaldum
Sebelum membahas lebih jauh mengenai konsep pendidikan Ibn Khaldun, sebaiknya mengenal profil beliau terlebih dahulu. Nama Ibn Khaldun, sebutan yang populer untuk dirinya, dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ke sembilan, yaitu al-Khalid. Khalid ibn Usman adalah nenek-moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 M. Ia menetap di Carmona, sebuah kota kecil yang terletak antara segitiga Cordova, Sevilla, dan Granada. Kemudian keturunan Khalid di Andalusia ini dikenal dengan sebutan Banu Khaldun yang di kemudian hari melahirkan sejarawan besar 'Abdurrahman ibn Khaldun.[2]

Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H./27 Mei 1332 M. Ibnu Khaldun dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar. Selain itu, Ibnu Khaldun juga membahas tentang pendidikan Islam.[3]
Wafi menguraikan silsilah leluhur Ibnu Khaldun berasal dari seorang sahabat Nabi, bernama Wail bin Hujr. Dikenal sebagai sahabat Nabi, yang meriwayatkan lebih dari 70 Hadist. Ayah bernama Abu Abdullah Muhammad. Abu Abdulah Muhamad adalah seorang pribadi yang suka bergelut dalam dunia perpolitikan, sehingga tidak heran jika ayah mempunyai jabatan penting di pemeritahan. Setelah lama malang melintang dalam dunia perpolitikan ayah Ibnu Khaldun mengundurkan diri dan mengabdikan diri kepada dunia ilmu pengetahuan dan kesufian, ahli bahasa dan satra Arab.[4] 
Pada waktu Ibnu Khladun baru berumur tujuh belas tahun ayahnya meninggal pada tahun 794 H/1384 M akibat wabah pes yang melanda Tunisia dan sebagain besar kota Masyriq dan Magrib. Hal ini juga menyebabkan Ibnu Khaldun tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke Tunisia, akibat lainnya adalah pindahnya sebagian besar ulama dan sastrawan yang selamat dari wabah pes dariTunisia ke Magrib al-Aqsa.[5]

Memasuki tahun ke-20 dari usianya, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik, sehingga pada tahun 755 H./1354 M, karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko. Kemudian pada tahun itu juga setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al-Mansur bin Sulaiman, maka Ibnu Khaldun menggabungkan diri dengan Al-Mansur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya. Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al-Mansur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itupun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana, maka pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan jabatan yang disandangnya.[6]
Setelah Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya. Akhirnya dia bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”.
Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al-‘Ibar, akan tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan disanalah ia menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir. Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan serta sarjanawan ini sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al-Azhar. Dari tahun 1832 M hingga wafatnya, Ibn Khaldun memegang jabatan sebagai guru besar dan rektor di Madrasah Qamliyah serta Ketua Hakim Agung (mufti) di Mesir selama 6 periode. Di sinilah ia memanfaaatkan sisa usianya untuk mengembangkan dan mengabdikan ilmu pengetahuan yang selama ini ditinggalkannya. Ibnu Khaldun wafat pada tanggal 26 Ramadhan 808 H  (16 Maret 1406 M), tak lama setelah ditunjuk ke enan kalinya menjadi seorang hakim.[7]

Dibalik keberhasilan yang dicapai oleh Ibnu Khaldun tidak luput dari jasa guru-gurunya yang memberikan berbagai pelajaran dan mengajarkan pengalaman mereka kepadanya. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa guru-guru yang ada dibalik keberhasilan Ibnu Khladun. Antara lain:
1)      Abu Abdullah Muhammad yaitu ayahnya yang menjadi guru pertama Ibnu Khaldun. Dari ayahnya beliau belajar membaca, menulis dan bahasa Arab.
2)      Abu Abdullah Muhammad Ibn Sa’ad Ibn Burral al-Anshari, ia termasuk pendidik Ibnu Khaldun dalam bidang al-Qur’an dan Qira’atul Sab’ah.
3)      Syeikh AbdullahIbn al-‘Arabi al-Hasayiri, Muhammad al-SAwwas al-Zarazli Ahmad Ibn al-Qassar, Syekh Syams al-Din Abu Abdullah Muhammad al-Wadisyasyi, mereka adalah pendidik /guru dalam bidang ilmu hadist, bahasa Arab dan Fiqh.
4)      Abdullah Muhammad Ibn Abd al- Salam, ia adalah pendidik khusus kitab al-Muwattha’ karya imam Malik.
5)      Muhammad Ibn Sulaiman al-Satti Abd al-Muhaimin al-Hadrami dan Muhammad Ibn Ibrahim al- Abili, mereka adalah pendidik ilmu pasti, logika dan seluruh ilmu tehnik, kebijakan dan pengajaran dan ilmu pokok al-Qur’an hadist.
6)      Syekh Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad al-Wadiyasyi, ia mengajarkan ilmu hadis dan fiqih serta bahasa Arab pada Ibnu Khaldun.[8]

Namun sebagaimana yang dikatakan Ramayulis dan Samsul Nizar dalam buku” ensiklopedi tokoh pendidikan” bahwa ada dua guru Ibnu Khaldun yang sangat berjasa kepada beliau yaitu Muhammad Ibnu Ibrahim al-Abili dalam bidang ilmu filsafat dan syekh Abd al-Muhaimin Ibn al-Hadramani dalam ilmu-ilmu agama. Dari kedua guru inilah dia belajar al-Kutubu Sittah dan al-Muwattha’.[9] 
Keilmuan Ibnu Khaldun memberikan bias menjadi guru yang diakui keilmuan yang dimilikinya, hal ini terbukti dengan banyaknya murid-murid Ibnu Khaldun yang berhasil dalam keilmuannya. Para murid yang belajar bersamanya ketika di al-Azhar selain menjadi seorang pengajar dia juga diangkat sebagai hakim tinggi. Ada dua orang murid Ibnu Khaldun yang terkenal dengan keilmuannya dan telah mengarang beberapa buku. Mereka adalah:
1)   Taqiyuddin Ahmad Ibnu Ali al-Maqrizi, ia adalah sejarawan dan telah mengarang buku al-Suluk li Ma’rifah Duwal al-mulk. Buku tentang sejarah yang dikarang oleh Al-Maqrizi sampai sekarang menjadi rujukan para sejarawan modern.
2)   Ibnu Hajar al- ‘Asqalani, ia adalah murid Ibnu Khaldun yang terkenal sebagai ahli hadis dan sejarawan terkemuka.[10]

Adapun hasil karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:

a)        Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
b)        Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku dan beberapa jilid.
c)        Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi, merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.
d)       Lubab al-Muhashshal fi Ushuluddin
e)        Syifa ‘al syail li Tahdz.

Selain buku-buku yang disebutkan di atas masih ada beberapa buku yang telah dikarang oleh Ibnu Khaldun yang tidak dituliskan dalam makalah ini. Ibnu Khaldun merupakan sejarawan yang terkemuka karena teorisasi yang telah dihasilkannya. Teorisasi tersebut adalah konsep tentang sebuah negara. Menurut Ibnu Khaldun dalam suatu peradaban ataupun Negara itu biasanya usianya tidak lebih dari seratus tahun lamanya. Dari teori “tumbuh tenggelamnya suatu Negara” inilah Ibnu Khaldun dikenal sebagai bapak sosiologi yang termasyur pada masa beliau hidup sampai saat ini. Beliau mengatakan bahwa Negara sama dengan manusia. Konsep Negara yang telah dilahirkan Ibnu Khaldun adalah bahwa setiap Negara akan melewati tiga fase yaitu:
1) Fase generasi pendiri/ Permula
2) Fase generasi penjaga/ Pemelihara
3) Fase generasi peniknat/ lalai dan tenggelam dalam kemewahan.[11]

B. Gambaran Umum Model Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun
Pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun merupakan suatu kemestian dalam membangun manusia. Artinya, pendidikan dalam hal ini harus mampu mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman agar eksistensi manusia dalam masyarakat tetap bertahan.
1. Tujuan Pendidikan Islam
Maka dalam hal ini, berarti Ibnu Khaldun telah memandang pendidikan sebagai bagian dari proses peradaban manusia. Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal pendidikan dituangkan dalam karya monumentalnya yang dikenal dengan sebutan Muqaddimah.  Dalam hal pendidikan Ibnu Khaldun memberi defenisi secara umum, seperti dalam salah satu perkataannya dalam mukaddimah tentang definisi pendidikan yaitu:
“ Siapa saja yang tidak terdidik orangtuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya siapa saja yang tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orangtua mereka yang mencakup guru dan orangtua, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarinya ”.[12]

Dengan pendidikan manusia akan mempergunakan akal pikiran yang telah dikaruniakan kepadanya ke arah yang baik atau yang buruk. Dalam Mukaddimah, Ibnu Khaldun tidak menjelaskan secara mendetail tentang tujuan pendidikan. Menurut Abd Al-Rahman yang dikutif dari buku Ramayulis mengemukan ada tiga tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun. Antaralain:
a)    Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan manusia dan kemampuan berpikir. Pendidikan memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dalam melakukan aktivitas. Dengan menuntut ilmu dan keterampilan, seseorang dapat meningkatkan potensi akalnya.
b)   Pendidikan bertujuan untuk peningkatan kemasyarakatan. Ilmu dan pengajaran sangat diperlukan dalam masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup manusia ke arah yang lebih baik lagi. Pendidikan juga menentukan kesejahteraan suatu masyarakat. Sebab semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semangkin bermutu dan dinamis pula keterampilan pada masyarakat tersebut.
c)    Pendidikan bertujuan meningkatkan kerohanian manusia. Dengan pendidikan manusia akan dapat melaksanakan dan menjalankan praktek ibadah dengan benar, zikir , khalwat( menyendiri), mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan beribadah sebagaimana yang dilakukan para sufi.[13]

Dari ketiga tujuan pendidikan di atas tampak jelas bahwa Ibnu Khaldun menganut prinsip keseimbangan antara dunia dan akhirat. Sebab tujuan dari pendidikan itu seutuhnya untuk melahirkan insanul kamil ( manusia yang sempurna), sempurna dari segi lahir dan bathin serta dapat menjadi manusi yang bahagia dunia dan akhirat.
2. Teori Belajar pendidikan agama Islam

Dalam karangan Mukaddimah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun terdapat teori belajar yang ditawarkan. Semua konsep yang dikemukakannya, dibangun melalui konsep-konsep yang dikembangkan ahli psikolastik. Diantar teori belajar yang ditawarkan adalah:
a) Makalah

Secara bahasa makalah berarti menjadikan sesuatu untuk dimiliki atau dikuasai, suatu sifat yang mengakar pada jiwa. Sedangkan menurut Ibnu Khaldun makalah adalah “ sifat yang berakal, segala hasil belajar atau mengerjakan sesuatu berulang kali, sehingga hasilnya dan bentuk pekerjaan itu dengan kokoh tertaman dalam jiwa”.[14]
Makalah dalam proses belajar adalah suatu tingkat pencapaian( achievement). Konsep makalah dalam belajar menurut Ibnu Khaldun bukan sekedar al-Fahmu( pemahaman) dan al-wa’yu( memori), akan tetapi makalah merupakan suatu yang dibaca, didengarkan, atau dapat memberikan contoh lain dari yang dicontohkan, atau dapat menggunakan petunjuk penerapan pada kasus lain. Sedangkan al-Wa’yu manurut Taxonomi Bloom daya simpan berbagai pengetahuan, informasi dan symbol-simbol.[15]

Teori makalah Ibnu Khaldun hanya bisa dicapai oleh peserta didik yang menggunakan berbagai pendekatan. Makalah dalam pendidikan meliputi aspek kogntif, afektif dan psikomotori( makalah al-Ilm, makala al-Iman dan makala al-Sina’ah). Ada dua cara yang ditawarkan Ibnu khaldun dalam pencapaian makalah yaitu: Latihan al-Munawarah dan al-Munazarah. Metode yang paling mudah dalam pencapaian makalah adalah dengan latihan. Dengan menggangkat contoh konktrit tentang latihan dalam debat/diskusi ilmiah yaitu bagaimana menggungkapakan fikiran dengan jelas dalam diskusi atau debat ilmiah. Kedua Kontinuitas (ittisal). Kesinambungan antara materi dalam pelajaran akan mengikat satu sama lain dan membantu terlaksanakan proses belajar dan waktu yang relative singkat.

b) Tadrij

Secara lugawi tadrij berasal dari kata tadarraja artinya naik/maju/meningkat secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Ibnu Khaldun menggunakan kata tadrij bukan hanya meningkat sedikit demi sedikit tapi juga kualitas. Frans Rosenthal menerjemahkan tadrij dengan gradual ( istilah Inggris).[16] Menurut teori ini belajar yang efektif dilakukan dengan cara berangsur-angsur, setahap demi setahap dan terus menerus. Teori ini dibangaun berlandaskan asumsi, bahwa kemampuan manusia terbatas. Proses belajar harus bertahap memulai dari mengerti masalah-masalah yang paling sederhana dan mudah, kemudian meningkat perlahan mengerti dan menguasai hal-hal yang agak kompleks, kemudian lebih kompleks, sangat kompleks dan seterusnya. Berdasarkan sifat jiwa inilah maka pencapaian makalah ketrampilan motorik tertentu baru akan sempurna melalui latihan tadrij( bertahap) dan ittisal (berkesinambungan).
Untuk mendukung teori makalah dan tadrij tersebut, Ibnu Khaldum mengutarakan hukum-hukum yang menyertainya. Antara lain:
1)   Pengulanga(takrar) dan kebiasaan (‘adah). Untuk setiap pelajaran memerluakan pengulangan dan pembiasaan
2)   Sebab akibat dan implikasi dalam belajar. Menurut Ibnu Khaldun. Sebab-sebab itu mengantar sesuatu ciptaan di dunia ini yang didominasi oleh kebiasaan mengakibatkannya terwujud. Sebab, akibat dari sebab-sebab tersebut adakah ciptaan yang baru, yang tentu memiliki sebab-sebab sebelumnya. Keingintahuan manusia kepada suatu akibat beranti mendaki seterusnya sampai kepada sebab-sebab yang agak tinggi, lebih tinggi dan tertinggi. Demikian seterusnya, hingga sampai kepada pemilik sebab yaitu Allah SWT.[17]



3. Proses Pembelajaran

Menurut Ibnu Khaldun pengajaran dipandang suatu skill. Karena itu, ia melakukan reaksi dan rekonstruksi terhadap keformalan kosong metodologi pengajaran pada zamannya. Metode yang lazim dipakai pada masa itu adalah drill dan hafalan, sehingga lahir budaya verbalistik. Dari realitas yang terjadi ini, memunculkan gagasan pengajaran secara tiga tahap yaitu:

1) Penyajian global. Pertama guru menyajikan kepada subjek didik hak-hal pokok, problem-problem prinsipil dari setiap materi pembahasan dalam bab-bab. Keterangan-keterangan juga diberikan secaa global dengan memperhatikan potensi intelek dan kesiapan subjek dalam menerima palajaran. Apabila dengan cara ini seluruh pembahasan pokok dikuasai, maka dia telah memperoleh satu makala dalam cabang ilmu yang ia pelajari yang masih bersifat persial.
2) Pengembangan (al-Syarh wal bayan). Guru menyajikan dan melatih kembali pengetahuan atau keterampilan dalam pokok bahasan itu kepada anak didik dalam taraf yang lebih tinggi. Pada tahapan ini guru harus menjelaskan asfek-asfek yang terjadi kontradiksi di dalamnya. Disertai dengan ragam pandangan teori yang terdapat pada mareti tersebut.
3) Penyimpulan (takhallus). Pada tahapan terakhir ini guru secara mendalam menyajikan pokok bahasan lebih mendalam dan rinci dalam konteks yang menyeluruh. Semua masalah yang dianggap urgen, sulit serta belum jelas dituntaskan pada tahapan ini.

Ibnu Khaldum mengemukakan teori penstrukturan pengajaran tiga tahapan ini merupakan hasil analisis observasi terhadap metodologi pengajaran yang diterapkan pada masa itu, pendidikan Islam seharusnya diarahkan pada gambaran tersebut dalam memberikan pemahaman yang mendalam pada peserta didik, peserta didik tidak secara langsung disuguhkan pada topik yang sulit, tetapi pembelajaran itu diarahkan pada kenyataan umum kemudian pada pembahasan lebih khusus.

4. Metode dalam pembelajaran
Mengenai metode pembelajaram Ibnu Khaldun juga membahasnya dalam kitab Mukaddimah. Menurut Ibnu Khaldun ada beberapa metode pembelajaran yang harus dikuasai oleh seorang pengajara. Antara lain:

a) Metode Pentahapan dan Pengulangan( Tadarruj wat Tikraari)

Mendikte atau menyampaikan ilmu secara bertahap, beranngsur-angsur, dan sedikit demi sedikit dengan memulai masalah-masalah mendasar dari setiap bab dalam ilmu pengetahuan merupakan metode yang pertama yang harus di lakukan pengajar. Pada tahap pertama, seorang guru harus mendekatkan pemahaman, dan menjelaskan secara global pada satu bab pembahasan. Hal ini bertujuan agar murid dapat memahami cabang ilmu yang dipelajari dan mampu memetakkan masalah-masalah yang dibahasnya.
b) Menggunakan Sarana Tertentu untuk Menjabarkan Pelajaran

Ibnu Khaldun menganjurkan agar seorang guru harus mengunakan alat peraga dalam menyampaikan pelajaran. Sebab seorang murid dalam waktu mulai belajar lemah dalam memahami dan kurang daya pemahamnnnya dengan alat peraga ini akan memudahkan dalam memahami pelajaran yang diajarkan oleh guru. Dalam pekerjaan pengajar alat-alat peraga merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas dan menjadikan pengetahuan anak bersentuhan dengan pengalaman indrawi yang hakiki.



c) Widya-Wisata ( Rihlah)

Widya-wisata menurut Ibnu Khaldun adalah perjalanan untuk menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar pada para ‘ulama dan ilmuan terkenal. Ibnu Khaldun juga menganjurkan perlawatan (rihla) untuk menuntut ilmu, karena dengan cara ini murid-murid akan mudah mendapat sumber-sumber pengetahuan sesuai dengan tabiat eksploratif anak, dan pengetahuan mereka berdasarkan observasi langsung sangat besar pengaruhnya dalam memperjelas pengetahuan lewat pengamatan indrawi. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Ar-Rum:
Artinya:  Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)."[18]

d) Hukuman ( Ta’zir)

Dalam hal hukuman ini Ibnu Khaldum mengikut pada nasehat Ar-Rasyid kepada juru didik anaknya Al-Amin.[19] Al-Rasyid berkata kepada Al-Amin agar tidak membiarkan waktu terbuang, kecuali ia memberi faedah pada si anak, tanpa perlu membuat ia kecil hati sehingga hatinya tertutup. Begitu juga tidak terlalu gampang memaafkan anak agar ia tidak merasa keenakan dengan kekosongan waktu. Hendaklah perbuatan si anak diluruskan dengan pendekatan yang baik dan lembut. Kalau cara ini tidak mampu membendung kenakalan anak, baru boleh digunakan kekerasan dan kekasaran.[20] Namun, jika dalam keadaan memaksa yang menuntut harus memukul murid, maka pukulan tersebut tidak boleh dari tiga kali, tidak boleh membahayakan, dan lebih menekankan aspek edukasi.[21]
Selain metode pembelajaran Ibnu Khaldun juga memberi beberapa penjelasan yang berkaitan dengan metode pembelajaran ini yaitu:
a)      Tidak memberi presentase yang rumit kepada anak yang baru belajar permulaan
b)      Harus ada keterkaitan dalam disiplin ilmu
c)      Tidak mencampur adukan antara dua ilmu dalam satu waktu
d)     Dalam pengajaran al-Qur’an harus dimulai pada anak yang tingkat kemampuan berfikir tertentu
e)      Menghindari dari pengajaran ilmu dengan ikhtisarnya

6. Sifat-sifat pendidik

Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya, apabila memiliki sifat-sifat yang mendukung profesionalismenya. Adapun sifat-sifat tersebut adalah:
1)      Pendidik hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis murid terutama terhadap anak-anak yang masih kecil
2)      Pendidikan hendaknya menjadikan dirinya sebagai uswah al-Hasanah( suri tauladan) bagi peserta didik
3)      Pendidik hendakknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberi pelajaran sehingga metote dan materi sesuai dengan proporsional
4)      Pendidik hendaknya mengisi waktu luang dengan aktifitas yang berguna
5)      Pendidik harus professional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik khususnya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kesiapan untuk menerima pelajaran.

5. Hakikat kurikulum, peserta Didik dan pendidik

Konsep kurikulum pendidikan menurut Ibnu Khaldun, meliputi tiga hal, yaitu: pertama, kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan syair). Kedua, kurikulum sekunder yaitu matakuliah untuk mendukung memahami Islam (seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika). Ketiga kurikulum primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, dan sebagainya).
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi dua macam yaitu ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah: bersumber dari al-Qur’an dan Hadits) Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, dan ilmu tasawuf. Yang kedua yaitu ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah: Ilmu yang bersifat alami bagi manusia, yang diperoleh melalui kemampuannya untuk berfikir) sepertti Ilmu logika, Ilmu fisika, Ilmu metafisika dan Ilmu matematika.
Konsep peserta didik menurut Ibnu Khladum pada dasarnya manusia adalah baik, pengaruh-pengaruh yang datang kemudianlah yang menentukan apakah jiwa manusia tersebut tetap baik atau menyimpang. Dari dasar inilah Ibnu Khaldun berpendapat bahwa setiap anak didik itu memiliki sifat dasar baik/ fitrah. Pendidikanlah yang akan memelihara fitrah pada peserta didik agar tetap baik.
Pendidik dalam pandangan Ibnu Khaldun haruslah orang yang berpengetahuan luas, dan mempunyai kepribadian yang baik, karena pendidik selain sebagai pengajar di dalam kelas, pendidik juga harus bisa menjadi contoh atau suri tauladan bagi peserta didiknya. Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau perintah-perintah.
Dalam pembahasan sebelumnya, telah digambarkan secara umum mengenai model pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Sebelum melakukan analisis lebih lanjut mengenai konsep pendidikan menurut Ibnu Khaldun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu mengenai prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai sesuatu hal yang mendasar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Adanya pengulangan dan penahapan (Tadarruj Wat Tikraari),
b.      Tidak membebani pikiran siswa
c.       Tidak mencampur adukan Dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu.
d.      Sering mengulang dan mempelajari kembali materi-materi yang telah diberikan.
e.       Tidak bersikap keras terhadap siswa. Sejalan dengan wasiat yang diberikan olehAl-Rasyid bahwa hukuman sebagai alat mendidik yang penting, akan tetapi janganlah dilakukan oleh guru kecuali dalam keadaan terpaksa karena tak ada jalan lain (semua cara lembut tidak berhasil).
f.       Widya-Wisata merupakan alat untuk mendapatkan pengalaman yang langsung,

Dengan tetap memperhatikan beberapa point di atas, maka dapat diketahui bahwa Ibnu Khaldun dalam konsep pendidikannya lebih banyak menitik beratkan pada peran guru dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa hal pertama yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik adalah kondisi kejiwaan anak, yang terpenting adalah pendidik harus mengetahui tingkat kemampuan (akal) dan kematangan peserta didik, Ibnu Khaldun menghendaki penerapan metode pendidikan bertahap sesuai dengan perkembangan kerja akal dengan alasan bahwa seorang anak itu berkembang setingkat demi setingkat dalam seluruh aspek-aspek jasmaniyah maupun aqliyah secara menyeluruh.
Pada tahap permulaan, pendidik tidak diperkenankan memberikan materi yang sukar dipelajari karena pada awal belajar pastilah peserta didik masih nampak lemah dalam menerima maupun memahami pengetahuan yang diajarkan kepadanya.
Pada perkembangan selanjutnya, peserta didik akan memasuki tahap yang dinamakan Ibnu Khaldun sebagai taraf belajar (muta’allim). Disinilah muta’allim dituntut untuk mulai mengembangkan potensi yang telah diberikan oleh Allah sebagai potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Karena sebagaimana disebutkan pada Bab sebelumnya bahwa Ibnu kholdun tidak hanya memandang peserta didik sebagai objek didik (wildan) yang membutuhkan pendampingan dalam kegiatan belajarnnya, akan tetapi peserta didik juga akan berperan sebagai subjek didik ketika telah menjadi muta’allim, dimana peserta didik tersebut akan dituntut kekreativitasannya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya dengan baik.
Adanya perbedaan istlah yang digunakan Ibnu Khaldun dalam merujuk pengertian peserta didik diatas, sebenarnya menandai adanya perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap awal, peserta didik adalah wildan yang memerlukan guru. Ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat dasar. Pada tahap berikutnya, peserta didik adalah muta’allim yang dituntut mandiri dalam mengembangkan potensinya. Dan konsep ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat tinggi karena pada tahap ini peserta didik sudah dapat berfikir rasional dan logis.
III.   PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.    Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H./27 Mei 1332 M. Ibnu Khaldun dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam, ekonomi Islam serta pendidikan Islam. Ibnu Khaldun memberikan bias menjadi guru yang diakui keilmuan yang dimilikinya, hal ini terbukti dengan banyaknya murid-murid Ibnu Khaldun yang berhasil dalam keilmuannya. Para murid yang belajar bersamanya ketika di al-Azhar selain menjadi seorang pengajar dia juga diangkat sebagai hakim tinggi.
2.    Ibnu Khaldun dalam konsep pendidikannya lebih banyak menitik beratkan pada peran guru dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa hal pertama yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik adalah kondisi kejiwaan anak, beberapa tahap pembelajaran menurut Ibnu Khaldum:
a.       Pada tahap permulaan, pendidik tidak diperkenankan memberikan materi yang sukar dipelajari karena pada awal belajar pastilah peserta didik masih nampak lemah dalam menerima maupun memahami pengetahuan yang diajarkan kepadanya.
b.      Pada perkembangan selanjutnya, peserta didik akan memasuki tahap yang dinamakan Ibnu Khaldun sebagai taraf belajar (muta’allim). Ibnu kholdun tidak hanya memandang peserta didik sebagai objek didik (wildan) yang membutuhkan pendampingan dalam kegiatan belajarnnya, akan tetapi peserta didik juga akan berperan sebagai subjek didik ketika telah menjadi muta’allim, dimana peserta didik tersebut akan dituntut kekreativitasannya agar dapat mengembangkan diri dan potensinya dengan baik.
c.       Adanya perbedaan istlah yang digunakan Ibnu Khaldun dalam merujuk pengertian peserta didik diatas, sebenarnya menandai adanya perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap awal, peserta didik adalah wildan yang memerlukan guru. Ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat dasar. Pada tahap berikutnya, peserta didik adalah muta’allim yang dituntut mandiri dalam mengembangkan potensinya. Dan konsep ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat tinggi karena pada tahap ini peserta didik sudah dapat berfikir rasional dan logis.

B.     Implikasi Penelitian
Melalui karya ilmiah ini diharapkan menjadi salah satu informasi penting terhadap pengembangan pendidikan agama Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Jumbulati Ali dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: rineka Cipta, 1994.

Athiyah Al-Abrasi Muhammad, Prinsip-Prinsip dasar Pendidikan Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2003.

Kementrian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan Agaman Islam dan Pembinaan Syariah, Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012

Muhajir Noeng, Pemahaman Tasomoni, Jakarta: Departement Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984.

Munandar Arif, Buku Pintar Islam, Bandung: Mizan, 2010.

Nizar Samsul dan Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat: Quantum Teaching, 2005.

Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam,  Jakarta: Kalam mulia, 2009.

Rosenthal Frans, dkk, The Muqaddimah, an Introduction to History,  New Rork: Stratford Inc, 1945.

Selamat Kasmuri, Pandangan Ibnu Khaldun terhadap Filsafat Ketuhanan, Jakarta: Kalam Mulia, 2007.

Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiyar Baru, 1997.

Walidin Warul, konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun, Yogyakarta: Nadiya Fondation, 2003.

Wardi Ali dan Fuad Baali, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.




[1] Mahmud Arif, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 74-75
[2] Kasmuri Selamat, Pandangan Ibnu Khaldun terhadap Filsafat Ketuhanan,( Jakarta: Kalam Mulia, 2007), h. 10
[3]Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 7.

[4]Ibid., 20

[5]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 19
[6] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiyar Baru, 1997), h. 200

[7]Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun., h. 20

[8]Ibid.
[9] Ramayulis dan Samsul Nizar., h. 17.

[10] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun., h. 30
[11] Arif Munandar,Buku Pintar Islam, (Bandung: Mizan, 2010), h. 443.
[12] Ibid.,
[13] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kalam mulia, 2009), h. 283.
[14] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun., h. 123

[15] Noeng Muhajir, Pemahaman Tasomoni, (Jakarta: Departement Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984). H. 7.
[16] Frans Rosenthal, dkk, The Muqaddimah, an Introduction to History, ( New Rork: Stratford Inc, 1945), h. 416

[17] Warul Walidin, konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun, (Yogyakarta: Nadiya Fondation, 2003), h. 123
[18] Kementrian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan Agaman Islam dan Pembinaan Syariah, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012)

[19] Muhammad Athiyah Al-Abrasi, Prinsip-Prinsip dasar Pendidikan Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2003), h. 165
[20] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: rineka Cipta, 1994), h. 201

[21] Muhammad Athiyah Al-Abrasi, Prinsip-Prinsip., H. 32