I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil
penilaian para filosof, telah melahirkan berbagai macam pandangan. Adakalanya,
beberapa pandangan saling mendukung, dan adakalanya pula berbeda dan saling
berlawanan. Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh pendekatan yang dipakai
berbeda-beda, sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Pemetaan demikian antara
lain didasarkan pada konsep keilmuan yang melandasi aliran pemikiran pendidikan
Islam. Menariknya, konsep keilmuan ternyata memang diakui sebagai salah satu
tema sentral dalam spektrum tradisi intelektual Islam. Berdasarkan “peta”
aliran itu, dapat menyimpulkan bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam
tidaklah monolitik dan uniform, melainkan variatif dan plural sebagaimana dalam
tradisi pemikiran Keislaman lainnya.[1]
Dewasa ini dalam dunia
pendidikan khususnya pendidikan Islam banyak menghadapi berbagai permasalahan.
Sedangkan tidak semua masalah dalam dunia pendidikan dapat dipecahkan dengan
menggunakan metode ilmiah semata. Diantara masalah dalam dunia pendidikan
sedikit banyaknya memerlukan pendekatan filosofis dalam pemecahannya. Analisis
filsafat terhadap masalah-masalah tersebut diharapkan dapat menghasilkan
pandangan-pandangan tertentu mengenai masalah-masalah tersebut. Dari fenomena
tersebut lahirlah apa yang dinamakan filsafat pendidikan Islam.
Uraian mengenai
filsafat pendidikan Islam diharapkan akan banyak memberikan gambaran dan
kemudahan dalam memahami problematika dunia pendidikan Islam. Munculnya
filsafat pendidikan islam sebagai suatu ilmu baru adalah sebagai akibat adanya
hubungan timbal balik antara filsafat dan pendidikan dalam Islam untuk
memecahkan dan menjawab masalah-masalah pendidikan Islam secara filosofis. Dalam
kajian makalah tentang filsafat pendidikan Islam penulis menghususkan pada
konsep pendidikan dalam perspektif Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun adalah seorang sejarawan sosiologi yang banyak
dikagumi oleh kalangan intelektual yang cinta akan ilmu pengetahuan baik dunia
bagian Timur maupun Barat. Hal ini disebabkan pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun
yang banyak tertuang dalam buku karangannya yang sangat terkenal dan fenomenal.
Dari masa Ibnu Khaldun sampai pada saat ini pemikiran beliau masih sangat
relevan digunakan.
B.
Rumusan masalah
1. Bagaimana riwayat
Ibnu Khaldun?
2. Bagaimana konsep
pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun?
II.
PEMBAHASAN
A. Riwayat Ibnu Khaldum
Sebelum membahas lebih jauh mengenai konsep pendidikan Ibn Khaldun,
sebaiknya mengenal profil beliau terlebih dahulu. Nama
Ibn Khaldun, sebutan yang populer untuk dirinya, dinisbatkan kepada nama
kakeknya yang ke sembilan, yaitu al-Khalid. Khalid ibn Usman adalah
nenek-moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk
berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 M. Ia menetap di Carmona, sebuah kota
kecil yang terletak antara segitiga Cordova, Sevilla, dan Granada. Kemudian
keturunan Khalid di Andalusia ini dikenal dengan sebutan Banu Khaldun yang di
kemudian hari melahirkan sejarawan besar 'Abdurrahman ibn Khaldun.[2]
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Waliuddin Abdurrahman bin
Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur
dengan sebutan Ibnu Khaldun. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H./27 Mei
1332 M. Ibnu Khaldun dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang
hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal
sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori
ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith
(1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya.
Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar. Selain
itu, Ibnu Khaldun juga membahas tentang pendidikan Islam.[3]
Wafi menguraikan silsilah leluhur Ibnu Khaldun berasal dari
seorang sahabat Nabi, bernama Wail bin Hujr. Dikenal sebagai sahabat Nabi, yang
meriwayatkan lebih dari 70 Hadist. Ayah bernama Abu Abdullah Muhammad. Abu
Abdulah Muhamad adalah seorang pribadi yang suka bergelut dalam dunia
perpolitikan, sehingga tidak heran jika ayah mempunyai jabatan penting di
pemeritahan. Setelah lama malang melintang dalam dunia perpolitikan ayah Ibnu
Khaldun mengundurkan diri dan mengabdikan diri kepada dunia ilmu pengetahuan
dan kesufian, ahli bahasa dan satra Arab.[4]
Pada waktu Ibnu Khladun baru berumur tujuh belas tahun
ayahnya meninggal pada tahun 794 H/1384 M akibat wabah pes yang melanda Tunisia
dan sebagain besar kota Masyriq dan Magrib. Hal ini juga menyebabkan Ibnu
Khaldun tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke Tunisia, akibat lainnya adalah
pindahnya sebagian besar ulama dan sastrawan yang selamat dari wabah pes
dariTunisia ke Magrib al-Aqsa.[5]
Memasuki tahun ke-20 dari usianya, Ibnu Khaldun mulai
tertarik dengan kehidupan politik, sehingga pada tahun 755 H./1354 M, karena
kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko. Kemudian
pada tahun itu juga setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh
Al-Mansur bin Sulaiman, maka Ibnu Khaldun menggabungkan diri dengan Al-Mansur
dan dia diangkat menjadi sekretarisnya. Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun
meninggalkan Al-Mansur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu
Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan
dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan
prestasinya yang luar biasa, tetapi itupun tidak berlangsung lama, karena pada
tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana, maka
pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan jabatan yang disandangnya.[6]
Setelah Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin
kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya. Akhirnya
dia bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu
Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari
kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin
menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia
mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia
ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal
dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”.
Selama empat tahun tinggal di daerah
Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al-‘Ibar, akan tetapi
karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan disanalah ia
menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika
Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu
Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir.
Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan serta sarjanawan ini
sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana.
Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu
sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al-Azhar. Dari tahun
1832 M hingga wafatnya, Ibn Khaldun memegang jabatan sebagai guru besar dan
rektor di Madrasah Qamliyah serta Ketua Hakim Agung (mufti) di Mesir selama 6
periode. Di sinilah ia memanfaaatkan sisa usianya untuk mengembangkan dan
mengabdikan ilmu pengetahuan yang selama ini ditinggalkannya. Ibnu Khaldun
wafat pada tanggal 26 Ramadhan 808 H (16
Maret 1406 M), tak lama setelah ditunjuk ke enan kalinya menjadi seorang hakim.[7]
Dibalik keberhasilan yang dicapai oleh Ibnu Khaldun tidak
luput dari jasa guru-gurunya yang memberikan berbagai pelajaran dan mengajarkan
pengalaman mereka kepadanya. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa guru-guru
yang ada dibalik keberhasilan Ibnu Khladun. Antara lain:
1)
Abu
Abdullah Muhammad yaitu ayahnya yang menjadi guru pertama Ibnu Khaldun. Dari
ayahnya beliau belajar membaca, menulis dan bahasa Arab.
2)
Abu
Abdullah Muhammad Ibn Sa’ad Ibn Burral al-Anshari, ia termasuk pendidik Ibnu
Khaldun dalam bidang al-Qur’an dan Qira’atul Sab’ah.
3)
Syeikh
AbdullahIbn al-‘Arabi al-Hasayiri, Muhammad al-SAwwas al-Zarazli Ahmad Ibn
al-Qassar, Syekh Syams al-Din Abu Abdullah Muhammad al-Wadisyasyi, mereka
adalah pendidik /guru dalam bidang ilmu hadist, bahasa Arab dan Fiqh.
4)
Abdullah
Muhammad Ibn Abd al- Salam, ia adalah pendidik khusus kitab al-Muwattha’ karya
imam Malik.
5)
Muhammad
Ibn Sulaiman al-Satti Abd al-Muhaimin al-Hadrami dan Muhammad Ibn Ibrahim al-
Abili, mereka adalah pendidik ilmu pasti, logika dan seluruh ilmu tehnik,
kebijakan dan pengajaran dan ilmu pokok al-Qur’an hadist.
6)
Syekh
Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad al-Wadiyasyi, ia mengajarkan ilmu hadis dan
fiqih serta bahasa Arab pada Ibnu Khaldun.[8]
Namun sebagaimana yang dikatakan Ramayulis dan Samsul Nizar
dalam buku” ensiklopedi tokoh pendidikan” bahwa ada dua guru Ibnu Khaldun yang
sangat berjasa kepada beliau yaitu Muhammad Ibnu Ibrahim al-Abili dalam bidang
ilmu filsafat dan syekh Abd al-Muhaimin Ibn al-Hadramani dalam ilmu-ilmu agama.
Dari kedua guru inilah dia belajar al-Kutubu Sittah dan al-Muwattha’.[9]
Keilmuan Ibnu Khaldun memberikan bias menjadi guru yang
diakui keilmuan yang dimilikinya, hal ini terbukti dengan banyaknya murid-murid
Ibnu Khaldun yang berhasil dalam keilmuannya. Para murid yang belajar bersamanya
ketika di al-Azhar selain menjadi seorang pengajar dia juga diangkat sebagai
hakim tinggi. Ada dua orang murid Ibnu Khaldun yang terkenal dengan keilmuannya
dan telah mengarang beberapa buku. Mereka adalah:
1)
Taqiyuddin
Ahmad Ibnu Ali al-Maqrizi, ia adalah sejarawan dan telah mengarang buku
al-Suluk li Ma’rifah Duwal al-mulk. Buku tentang sejarah yang dikarang oleh
Al-Maqrizi sampai sekarang menjadi rujukan para sejarawan modern.
2)
Ibnu
Hajar al- ‘Asqalani, ia adalah murid Ibnu Khaldun yang terkenal sebagai ahli hadis
dan sejarawan terkemuka.[10]
Adapun
hasil karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:
a)
Kitab
Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari
bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang
merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang
mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini
adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
b)
Kitab
al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa
al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran
dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa
Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar
yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang
terdiri dari tiga buku dan beberapa jilid.
c)
Kitab
al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut
al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi, merupakan
bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai
kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan
menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.
d)
Lubab
al-Muhashshal fi Ushuluddin
e)
Syifa
‘al syail li Tahdz.
Selain buku-buku yang disebutkan di atas masih ada beberapa
buku yang telah dikarang oleh Ibnu Khaldun yang tidak dituliskan dalam makalah
ini. Ibnu Khaldun merupakan sejarawan yang terkemuka karena teorisasi yang
telah dihasilkannya. Teorisasi tersebut adalah konsep tentang sebuah negara.
Menurut Ibnu Khaldun dalam suatu peradaban ataupun Negara itu biasanya usianya
tidak lebih dari seratus tahun lamanya. Dari teori “tumbuh tenggelamnya suatu
Negara” inilah Ibnu Khaldun dikenal sebagai bapak sosiologi yang termasyur pada
masa beliau hidup sampai saat ini. Beliau mengatakan bahwa Negara sama dengan
manusia. Konsep Negara yang telah dilahirkan Ibnu Khaldun adalah bahwa setiap
Negara akan melewati tiga fase yaitu:
1) Fase generasi pendiri/ Permula
2) Fase generasi penjaga/ Pemelihara
3) Fase generasi peniknat/ lalai dan tenggelam dalam
kemewahan.[11]
Pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun merupakan
suatu kemestian dalam membangun manusia. Artinya, pendidikan dalam hal ini
harus mampu mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman agar
eksistensi manusia dalam masyarakat tetap bertahan.
1.
Tujuan Pendidikan Islam
Maka dalam hal ini, berarti Ibnu Khaldun telah
memandang pendidikan sebagai bagian dari proses peradaban manusia. Pemikiran
Ibnu Khaldun dalam hal pendidikan dituangkan dalam karya monumentalnya yang
dikenal dengan sebutan Muqaddimah. Dalam hal pendidikan Ibnu Khaldun
memberi defenisi secara umum, seperti dalam salah satu perkataannya dalam
mukaddimah tentang definisi pendidikan yaitu:
“ Siapa saja yang tidak terdidik orangtuanya, maka akan
terdidik oleh zaman, maksudnya siapa saja yang tidak memperoleh tata krama yang
dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orangtua mereka yang mencakup
guru dan orangtua, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan
mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
sepanjang zaman, zaman akan mengajarinya ”.[12]
Dengan pendidikan manusia akan mempergunakan akal pikiran
yang telah dikaruniakan kepadanya ke arah yang baik atau yang buruk. Dalam
Mukaddimah, Ibnu Khaldun tidak menjelaskan secara mendetail tentang tujuan
pendidikan. Menurut Abd Al-Rahman yang dikutif dari buku Ramayulis mengemukan
ada tiga tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun. Antaralain:
a)
Pendidikan
bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan manusia dan kemampuan berpikir.
Pendidikan memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dalam melakukan
aktivitas. Dengan menuntut ilmu dan keterampilan, seseorang dapat meningkatkan
potensi akalnya.
b)
Pendidikan
bertujuan untuk peningkatan kemasyarakatan. Ilmu dan pengajaran sangat
diperlukan dalam masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup manusia ke arah yang
lebih baik lagi. Pendidikan juga menentukan kesejahteraan suatu masyarakat.
Sebab semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semangkin bermutu dan
dinamis pula keterampilan pada masyarakat tersebut.
c)
Pendidikan
bertujuan meningkatkan kerohanian manusia. Dengan pendidikan manusia akan dapat
melaksanakan dan menjalankan praktek ibadah dengan benar, zikir , khalwat(
menyendiri), mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan
beribadah sebagaimana yang dilakukan para sufi.[13]
Dari ketiga tujuan pendidikan di atas tampak jelas bahwa
Ibnu Khaldun menganut prinsip keseimbangan antara dunia dan akhirat. Sebab
tujuan dari pendidikan itu seutuhnya untuk melahirkan insanul kamil ( manusia yang sempurna), sempurna dari segi lahir
dan bathin serta dapat menjadi manusi yang bahagia dunia dan akhirat.
2. Teori Belajar pendidikan agama
Islam
Dalam karangan Mukaddimah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun
terdapat teori belajar yang ditawarkan. Semua konsep yang dikemukakannya,
dibangun melalui konsep-konsep yang dikembangkan ahli psikolastik. Diantar
teori belajar yang ditawarkan adalah:
a) Makalah
Secara bahasa makalah berarti menjadikan sesuatu untuk
dimiliki atau dikuasai, suatu sifat yang mengakar pada jiwa. Sedangkan menurut
Ibnu Khaldun makalah adalah “ sifat yang berakal, segala hasil belajar atau
mengerjakan sesuatu berulang kali, sehingga hasilnya dan bentuk pekerjaan itu
dengan kokoh tertaman dalam jiwa”.[14]
Makalah dalam proses belajar adalah suatu tingkat
pencapaian( achievement). Konsep
makalah dalam belajar menurut Ibnu Khaldun bukan sekedar al-Fahmu( pemahaman) dan al-wa’yu(
memori), akan tetapi makalah merupakan suatu yang dibaca, didengarkan, atau
dapat memberikan contoh lain dari yang dicontohkan, atau dapat menggunakan
petunjuk penerapan pada kasus lain. Sedangkan al-Wa’yu manurut Taxonomi Bloom daya simpan berbagai pengetahuan,
informasi dan symbol-simbol.[15]
Teori makalah Ibnu Khaldun hanya bisa dicapai oleh peserta
didik yang menggunakan berbagai pendekatan. Makalah dalam pendidikan meliputi
aspek kogntif, afektif dan psikomotori( makalah
al-Ilm, makala al-Iman dan makala al-Sina’ah). Ada dua cara yang ditawarkan
Ibnu khaldun dalam pencapaian makalah yaitu: Latihan al-Munawarah dan al-Munazarah. Metode yang paling mudah dalam
pencapaian makalah adalah dengan latihan. Dengan menggangkat contoh konktrit
tentang latihan dalam debat/diskusi ilmiah yaitu bagaimana menggungkapakan
fikiran dengan jelas dalam diskusi atau debat ilmiah. Kedua Kontinuitas (ittisal). Kesinambungan antara materi
dalam pelajaran akan mengikat satu sama lain dan membantu terlaksanakan proses
belajar dan waktu yang relative singkat.
b) Tadrij
Secara lugawi tadrij berasal dari kata tadarraja artinya
naik/maju/meningkat secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Ibnu Khaldun
menggunakan kata tadrij bukan hanya meningkat sedikit demi sedikit tapi juga
kualitas. Frans Rosenthal menerjemahkan tadrij dengan gradual ( istilah
Inggris).[16]
Menurut teori ini belajar yang efektif dilakukan dengan cara berangsur-angsur,
setahap demi setahap dan terus menerus. Teori ini dibangaun berlandaskan
asumsi, bahwa kemampuan manusia terbatas. Proses belajar harus bertahap memulai
dari mengerti masalah-masalah yang paling sederhana dan mudah, kemudian
meningkat perlahan mengerti dan menguasai hal-hal yang agak kompleks, kemudian
lebih kompleks, sangat kompleks dan seterusnya. Berdasarkan sifat jiwa inilah
maka pencapaian makalah ketrampilan motorik tertentu baru akan sempurna melalui
latihan tadrij( bertahap) dan ittisal (berkesinambungan).
Untuk mendukung teori makalah dan
tadrij tersebut, Ibnu Khaldum mengutarakan hukum-hukum yang menyertainya.
Antara lain:
1)
Pengulanga(takrar)
dan kebiasaan (‘adah). Untuk setiap
pelajaran memerluakan pengulangan dan pembiasaan
2)
Sebab
akibat dan implikasi dalam belajar. Menurut Ibnu Khaldun. Sebab-sebab itu
mengantar sesuatu ciptaan di dunia ini yang didominasi oleh kebiasaan
mengakibatkannya terwujud. Sebab, akibat dari sebab-sebab tersebut adakah ciptaan
yang baru, yang tentu memiliki sebab-sebab sebelumnya. Keingintahuan manusia
kepada suatu akibat beranti mendaki seterusnya sampai kepada sebab-sebab yang
agak tinggi, lebih tinggi dan tertinggi. Demikian seterusnya, hingga sampai
kepada pemilik sebab yaitu Allah SWT.[17]
3. Proses Pembelajaran
Menurut Ibnu Khaldun pengajaran dipandang suatu skill.
Karena itu, ia melakukan reaksi dan rekonstruksi terhadap keformalan kosong
metodologi pengajaran pada zamannya. Metode yang lazim dipakai pada masa itu
adalah drill dan hafalan, sehingga
lahir budaya verbalistik. Dari realitas yang terjadi ini, memunculkan gagasan
pengajaran secara tiga tahap yaitu:
1) Penyajian global. Pertama guru
menyajikan kepada subjek didik hak-hal pokok, problem-problem prinsipil dari
setiap materi pembahasan dalam bab-bab. Keterangan-keterangan juga diberikan
secaa global dengan memperhatikan potensi intelek dan kesiapan subjek dalam
menerima palajaran. Apabila dengan cara ini seluruh pembahasan pokok dikuasai,
maka dia telah memperoleh satu makala dalam cabang ilmu yang ia pelajari yang
masih bersifat persial.
2) Pengembangan (al-Syarh wal bayan). Guru menyajikan dan
melatih kembali pengetahuan atau keterampilan dalam pokok bahasan itu kepada
anak didik dalam taraf yang lebih tinggi. Pada tahapan ini guru harus
menjelaskan asfek-asfek yang terjadi kontradiksi di dalamnya. Disertai dengan
ragam pandangan teori yang terdapat pada mareti tersebut.
3) Penyimpulan (takhallus). Pada tahapan terakhir ini guru secara mendalam
menyajikan pokok bahasan lebih mendalam dan rinci dalam konteks yang
menyeluruh. Semua masalah yang dianggap urgen, sulit serta belum jelas
dituntaskan pada tahapan ini.
Ibnu Khaldum mengemukakan teori
penstrukturan pengajaran tiga tahapan ini merupakan hasil analisis observasi
terhadap metodologi pengajaran yang diterapkan pada masa itu, pendidikan Islam
seharusnya diarahkan pada gambaran tersebut dalam memberikan pemahaman yang
mendalam pada peserta didik, peserta didik tidak secara langsung disuguhkan
pada topik yang sulit, tetapi pembelajaran itu diarahkan pada kenyataan umum
kemudian pada pembahasan lebih khusus.
4. Metode dalam pembelajaran
Mengenai metode pembelajaram Ibnu
Khaldun juga membahasnya dalam kitab Mukaddimah. Menurut Ibnu Khaldun ada
beberapa metode pembelajaran yang harus dikuasai oleh seorang pengajara. Antara
lain:
a) Metode Pentahapan dan Pengulangan(
Tadarruj wat Tikraari)
Mendikte atau menyampaikan ilmu secara bertahap,
beranngsur-angsur, dan sedikit demi sedikit dengan memulai masalah-masalah
mendasar dari setiap bab dalam ilmu pengetahuan merupakan metode yang pertama
yang harus di lakukan pengajar. Pada tahap pertama, seorang guru harus
mendekatkan pemahaman, dan menjelaskan secara global pada satu bab pembahasan.
Hal ini bertujuan agar murid dapat memahami cabang ilmu yang dipelajari dan
mampu memetakkan masalah-masalah yang dibahasnya.
b) Menggunakan Sarana Tertentu untuk
Menjabarkan Pelajaran
Ibnu Khaldun menganjurkan agar seorang guru harus mengunakan
alat peraga dalam menyampaikan pelajaran. Sebab seorang murid dalam waktu mulai
belajar lemah dalam memahami dan kurang daya pemahamnnnya dengan alat peraga
ini akan memudahkan dalam memahami pelajaran yang diajarkan oleh guru. Dalam
pekerjaan pengajar alat-alat peraga merupakan sarana pembuka cakrawala yang
lebih luas dan menjadikan pengetahuan anak bersentuhan dengan pengalaman
indrawi yang hakiki.
c) Widya-Wisata ( Rihlah)
Widya-wisata menurut Ibnu Khaldun adalah perjalanan untuk
menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar pada para ‘ulama
dan ilmuan terkenal. Ibnu Khaldun juga menganjurkan perlawatan (rihla) untuk menuntut ilmu, karena
dengan cara ini murid-murid akan mudah mendapat sumber-sumber pengetahuan
sesuai dengan tabiat eksploratif anak, dan pengetahuan mereka berdasarkan
observasi langsung sangat besar pengaruhnya dalam memperjelas pengetahuan lewat
pengamatan indrawi. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Ar-Rum:
Artinya: Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu.
kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan
(Allah)."[18]
d) Hukuman ( Ta’zir)
Dalam hal hukuman ini Ibnu Khaldum mengikut pada nasehat
Ar-Rasyid kepada juru didik anaknya Al-Amin.[19]
Al-Rasyid berkata kepada Al-Amin agar tidak membiarkan waktu terbuang, kecuali
ia memberi faedah pada si anak, tanpa perlu membuat ia kecil hati sehingga
hatinya tertutup. Begitu juga tidak terlalu gampang memaafkan anak agar ia
tidak merasa keenakan dengan kekosongan waktu. Hendaklah perbuatan si anak
diluruskan dengan pendekatan yang baik dan lembut. Kalau cara ini tidak mampu
membendung kenakalan anak, baru boleh digunakan kekerasan dan kekasaran.[20]
Namun, jika dalam keadaan memaksa yang menuntut harus memukul murid, maka pukulan
tersebut tidak boleh dari tiga kali, tidak boleh membahayakan, dan lebih
menekankan aspek edukasi.[21]
Selain metode pembelajaran Ibnu Khaldun juga memberi
beberapa penjelasan yang berkaitan dengan metode pembelajaran ini yaitu:
a)
Tidak
memberi presentase yang rumit kepada anak yang baru belajar permulaan
b)
Harus
ada keterkaitan dalam disiplin ilmu
c)
Tidak
mencampur adukan antara dua ilmu dalam satu waktu
d)
Dalam
pengajaran al-Qur’an harus dimulai pada anak yang tingkat kemampuan berfikir
tertentu
e)
Menghindari
dari pengajaran ilmu dengan ikhtisarnya
6. Sifat-sifat pendidik
Seorang pendidik akan berhasil dalam tugasnya, apabila
memiliki sifat-sifat yang mendukung profesionalismenya. Adapun sifat-sifat
tersebut adalah:
1)
Pendidik
hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, serta menjauhi hukuman
yang merusak fisik dan psikis murid terutama terhadap anak-anak yang masih
kecil
2)
Pendidikan
hendaknya menjadikan dirinya sebagai uswah al-Hasanah( suri tauladan) bagi
peserta didik
3)
Pendidik
hendakknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberi pelajaran sehingga
metote dan materi sesuai dengan proporsional
4)
Pendidik
hendaknya mengisi waktu luang dengan aktifitas yang berguna
5)
Pendidik
harus professional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik khususnya
berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan kesiapan untuk menerima
pelajaran.
5. Hakikat kurikulum, peserta Didik
dan pendidik
Konsep
kurikulum pendidikan menurut Ibnu Khaldun, meliputi tiga hal, yaitu: pertama,
kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan
syair). Kedua, kurikulum sekunder yaitu matakuliah untuk mendukung memahami
Islam (seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika). Ketiga kurikulum
primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, dan sebagainya).
Adapun pandangannya mengenai materi
pendidikan, Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi dua
macam yaitu ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah: bersumber dari al-Qur’an dan
Hadits) Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah antara lain: ilmu
tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu
bahasa Arab, dan ilmu tasawuf. Yang kedua yaitu ilmu-ilmu filsafat atau
rasional (Aqliyah: Ilmu yang bersifat alami bagi manusia, yang diperoleh
melalui kemampuannya untuk berfikir) sepertti Ilmu logika, Ilmu fisika, Ilmu
metafisika dan Ilmu matematika.
Konsep peserta didik menurut Ibnu Khladum
pada dasarnya manusia adalah baik, pengaruh-pengaruh yang datang kemudianlah
yang menentukan apakah jiwa manusia tersebut tetap baik atau menyimpang. Dari
dasar inilah Ibnu Khaldun berpendapat bahwa setiap anak didik itu memiliki
sifat dasar baik/ fitrah. Pendidikanlah yang akan memelihara fitrah pada
peserta didik agar tetap baik.
Pendidik
dalam pandangan Ibnu Khaldun haruslah orang yang berpengetahuan luas, dan
mempunyai kepribadian yang baik, karena pendidik selain sebagai pengajar di
dalam kelas, pendidik juga harus bisa menjadi contoh atau suri tauladan bagi
peserta didiknya. Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan
dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah
dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang
mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau
perintah-perintah.
Dalam pembahasan sebelumnya, telah
digambarkan secara umum mengenai model pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Sebelum
melakukan analisis lebih lanjut mengenai konsep pendidikan menurut Ibnu
Khaldun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu mengenai
prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai sesuatu hal yang mendasar dalam
mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Adapun prinsip-prinsip tersebut
adalah sebagai berikut:
a.
Adanya
pengulangan dan penahapan (Tadarruj Wat Tikraari),
b. Tidak membebani pikiran
siswa
c.
Tidak
mencampur adukan Dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu.
d.
Sering
mengulang dan mempelajari kembali materi-materi yang telah diberikan.
e.
Tidak
bersikap keras terhadap siswa. Sejalan dengan wasiat yang diberikan
olehAl-Rasyid bahwa hukuman sebagai alat mendidik yang penting, akan tetapi
janganlah dilakukan oleh guru kecuali dalam keadaan terpaksa karena tak ada
jalan lain (semua cara lembut tidak berhasil).
f. Widya-Wisata merupakan alat
untuk mendapatkan pengalaman yang langsung,
Dengan tetap memperhatikan beberapa point di atas, maka dapat
diketahui bahwa Ibnu Khaldun dalam konsep pendidikannya lebih banyak menitik
beratkan pada peran guru dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, Ibnu
Khaldun mengatakan bahwa hal pertama yang harus diperhatikan oleh seorang
pendidik adalah kondisi kejiwaan anak, yang terpenting adalah pendidik harus
mengetahui tingkat kemampuan (akal) dan kematangan peserta didik, Ibnu Khaldun
menghendaki penerapan metode pendidikan bertahap sesuai dengan perkembangan
kerja akal dengan alasan bahwa seorang anak itu berkembang setingkat demi
setingkat dalam seluruh aspek-aspek jasmaniyah maupun aqliyah secara
menyeluruh.
Pada tahap permulaan, pendidik tidak diperkenankan memberikan
materi yang sukar dipelajari karena pada awal belajar pastilah peserta didik
masih nampak lemah dalam menerima maupun memahami pengetahuan yang diajarkan kepadanya.
Pada perkembangan selanjutnya, peserta didik akan memasuki
tahap yang dinamakan Ibnu Khaldun sebagai taraf belajar (muta’allim).
Disinilah muta’allim dituntut untuk mulai mengembangkan potensi yang telah
diberikan oleh Allah sebagai potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Karena
sebagaimana disebutkan pada Bab sebelumnya bahwa Ibnu kholdun tidak hanya
memandang peserta didik sebagai objek didik (wildan) yang membutuhkan
pendampingan dalam kegiatan belajarnnya, akan tetapi peserta didik juga akan
berperan sebagai subjek didik ketika telah menjadi muta’allim, dimana peserta
didik tersebut akan dituntut kekreativitasannya agar dapat mengembangkan diri
dan potensinya dengan baik.
Adanya perbedaan istlah yang digunakan Ibnu Khaldun dalam
merujuk pengertian peserta didik diatas, sebenarnya menandai adanya
perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap awal, peserta didik adalah wildan
yang memerlukan guru. Ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat dasar. Pada
tahap berikutnya, peserta didik adalah muta’allim yang dituntut
mandiri dalam mengembangkan potensinya. Dan konsep ini berlaku pada jenjang
pendidikan tingkat tinggi karena pada tahap ini peserta didik sudah dapat
berfikir rasional dan logis.
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah
Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin
al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. Lahir di Tunisia
pada 1 Ramadhan 732 H./27 Mei 1332 M. Ibnu Khaldun dikenal sebagai sejarawan
dan bapak sosiologi Islam, ekonomi Islam serta pendidikan Islam. Ibnu Khaldun
memberikan bias menjadi guru yang diakui keilmuan yang dimilikinya, hal ini
terbukti dengan banyaknya murid-murid Ibnu Khaldun yang berhasil dalam
keilmuannya. Para murid yang belajar bersamanya ketika di al-Azhar selain
menjadi seorang pengajar dia juga diangkat sebagai hakim tinggi.
2. Ibnu Khaldun dalam konsep pendidikannya lebih banyak menitik
beratkan pada peran guru dalam proses belajar mengajar. Oleh karena itu, Ibnu
Khaldun mengatakan bahwa hal pertama yang harus diperhatikan oleh seorang
pendidik adalah kondisi kejiwaan anak, beberapa tahap pembelajaran menurut Ibnu
Khaldum:
a. Pada tahap permulaan, pendidik tidak diperkenankan memberikan
materi yang sukar dipelajari karena pada awal belajar pastilah peserta didik
masih nampak lemah dalam menerima maupun memahami pengetahuan yang diajarkan
kepadanya.
b. Pada perkembangan selanjutnya, peserta didik akan memasuki tahap
yang dinamakan Ibnu Khaldun sebagai taraf belajar (muta’allim). Ibnu
kholdun tidak hanya memandang peserta didik sebagai objek didik (wildan)
yang membutuhkan pendampingan dalam kegiatan belajarnnya, akan tetapi peserta
didik juga akan berperan sebagai subjek didik ketika telah menjadi muta’allim,
dimana peserta didik tersebut akan dituntut kekreativitasannya agar dapat
mengembangkan diri dan potensinya dengan baik.
c. Adanya perbedaan istlah yang digunakan Ibnu Khaldun dalam
merujuk pengertian peserta didik diatas, sebenarnya menandai adanya
perkembangan belajar pada manusia. Pada tahap awal, peserta didik adalah wildan
yang memerlukan guru. Ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat dasar. Pada
tahap berikutnya, peserta didik adalah muta’allim yang dituntut
mandiri dalam mengembangkan potensinya. Dan konsep ini berlaku pada jenjang
pendidikan tingkat tinggi karena pada tahap ini peserta didik sudah dapat
berfikir rasional dan logis.
B. Implikasi Penelitian
Melalui karya ilmiah ini diharapkan menjadi salah
satu informasi penting terhadap pengembangan pendidikan agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jumbulati Ali dan Abdul Futuh
At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan
Islam, Jakarta: rineka Cipta, 1994.
Athiyah Al-Abrasi Muhammad, Prinsip-Prinsip dasar Pendidikan Islam,
Bandung; Pustaka Setia, 2003.
Kementrian
Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan
Agaman Islam dan Pembinaan Syariah, Alquran
dan Terjemahnya, Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012
Muhajir Noeng, Pemahaman Tasomoni,
Jakarta: Departement Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984.
Munandar Arif, Buku Pintar Islam, Bandung: Mizan, 2010.
Nizar Samsul dan Ramayulis, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,
Ciputat: Quantum Teaching, 2005.
Ramayulis, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Kalam mulia, 2009.
Rosenthal Frans, dkk, The Muqaddimah, an Introduction to History, New Rork: Stratford Inc, 1945.
Selamat Kasmuri, Pandangan Ibnu Khaldun terhadap Filsafat
Ketuhanan, Jakarta: Kalam Mulia, 2007.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiyar Baru, 1997.
Walidin Warul, konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun, Yogyakarta: Nadiya
Fondation, 2003.
Wardi Ali dan Fuad Baali, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
[1] Mahmud Arif, Tiga
Aliran Utama Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 74-75
[2] Kasmuri Selamat, Pandangan Ibnu Khaldun terhadap Filsafat Ketuhanan,( Jakarta: Kalam
Mulia, 2007), h. 10
[3]Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), h. 7.
[4]Ibid., 20
[5]Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,
(Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 19
[7]Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun., h. 20
[8]Ibid.
[12] Ibid.,
[15] Noeng Muhajir, Pemahaman Tasomoni, (Jakarta:
Departement Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1984). H. 7.
[16] Frans Rosenthal, dkk, The Muqaddimah, an Introduction to History, ( New Rork: Stratford
Inc, 1945), h. 416
[17] Warul Walidin, konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun, (Yogyakarta: Nadiya
Fondation, 2003), h. 123
[18] Kementrian
Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan
Agaman Islam dan Pembinaan Syariah, Alquran
dan Terjemahnya, (Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia, 2012)
[19] Muhammad Athiyah Al-Abrasi, Prinsip-Prinsip dasar Pendidikan Islam,
(Bandung; Pustaka Setia, 2003), h. 165
[20] Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta:
rineka Cipta, 1994), h. 201