HUBUNGAN ANTARA ILMU DAN MORAL SERTA TANGGUNG JAWAB SEORANG
ILMUWAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
OLEH
SYAMSUL ARIF
Dosen Pengampu
Dr. H. Lukman S. Thahir, M.A
PASCASARJANA
(S2)
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) PALU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan begitu
pesat, seiring banyaknya tuntutan keperluan hidup manusia. Di sisi lain, timbul
kekhawatiran yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu itu, karena tidak ada
seorang pun atau lembaga yang memiliki otoritas untuk menghambat implikasi
negatif dari perkembangan ilmu. Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang
kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi
ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan
hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan
kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri.[1]
Tanggung
jawab sosial ilmuwan adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui
masalah sosial dan cara penyelesaian permasalahan
sosial tersebut. Tanggung jawab merupakan hal yang ada pada setiap makhluk
hidup. Hal demikian dapat dilihat pada manusia yang menunjukkan tanggung
jawabnya dengan merawat dan mendidik anaknya sampai dewasa. Tanggung jawab
terdapat juga pada bidang yang ditekuni oleh manusia, seperti negarawan,
budayawan, dan ilmuwan. Tanggung jawab tidak hanya menyangkut subjek dari
tanggung jawab itu sendiri, seperti makhluk hidup atau bidang yang ditekuni
oleh manusia akan tetapi juga menyangkut objek dari tanggung jawab, misalnya
sosial, mendidik anak, memberi nafkah, dan sebagainya.[2]
Ilmu dan moral, tanggung jawab
sosial, serta revolusi genetika adalah hal yang saling berhubungan. Terdapat
beberapa pertanyaan yang menggelitik, pertama benarkah makin cerdas, maka makin
pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan
kita? Apakah manusia dengan penalaran tinggi lalu makin berbudi atau sebaliknya
makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Melalui makalah ini akan
diuraikan mengenai ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasar latar belakang di atas,
maka penulis merumuskan masalah sebagia berikut:
1. Bagaimana
hubungan antara Ilmu dan Moral
2.
Apa tanggung jawab sosial Ilmuwan?
3. Bagaimana
pengaruh Ilmu, Moral dan tanggung jawab sosial Ilmuwan?
C. Tujuan
Secara sederhana, tujuan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
hubungan antara Ilmu dan Moral
2.
Apa tanggung jawab sosial Ilmuwan
3. Bagaimana
pengaruh Ilmu, Moral dan tanggung jawab sosial Ilmuwan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Aksiologi
1.
Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi
berasal dari perkataan axios yang berarti nilai dan logos berarti teori. Jadi
aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Suriasumantri dalam bukunya,
aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh.[3]
Menurut kamus Bahasa Indonesia
aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika.[4]
Dalam definisi yang hampir serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan membahas
nilai-nilai yang memberi batas-batas bagi pengembangan ilmu.[5]
Dari definisi-definisi aksiologi di
atas terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai.
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. Etika menilai perbuatan
manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah
norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam
suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma.
Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang
dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
2.
Pengertian ilmu
Kata ilmu dalam bahasa Arab “Ilm”
yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan
katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan.[6]
Istilah ilmu pengetahuan diambil
dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientia dari
bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari , mengetahui. The Liang Gie
(1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang
mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional
empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan
sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.[7]
Ilmu harus diusahakan dengan
aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan
akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari
aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah
dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang
telah ada, sehingga di kalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa
ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis.[8]
Menurut Bahm (dalam Koento
Wibisono,1997) definisi ilmu pengetahuan melibatkan enam macam komponen yaitu
masalah (problem), sikap (attitude), metode (method),
aktivitas (activity), kesimpulan (conclusion), dan pengaruh (effects).[9]
3.
Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin mos
jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya,
tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau
moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai
untuk pengkajian sistem nilai yang ada.[10]
Kata moral juga dalam bahasa Yunani
sama dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat, etika sangat
menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai (takaran, harga, angka
kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat yang penting/berguna) dan moral tersebut
serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral
itu.[11]
Sumber langsung ajaran moral adalah
pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang seperti orangtua dan guru, para
pemuka masyarakat dan agama, serta tulisan para bijak. Etika bukan sumber
tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah
ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama.[12]
Jadi, moral merupakan kondisi
pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai
baik dan buruk. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia
tidak bermoral dan tidak memilki nilai positif di mata manusia lainnya.
Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral itu
sifat dasar yang diajarkan di sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia
ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan
seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang
itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat
diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai
mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.
B. Teori
Tentang Nilai: Teori Etika dan Estetika
Teori
Nilai membahas dua masalah yaitu masalah Etika dan Estetika. Etika membahas
tentang baik buruknya tingkah laku manusia sedangkan estetika membahas mengenai keindahan.
Ringkasnya dalam pembahasan teori nilai ini bukanlah membahas tentang nilai
kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga. Pengertian nilai itu adalah
harga dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu
itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai.
Dan
oleh karena itu nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama
pula karena penilaian seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya
berlainan. Bahkan ada yang tidak memberikan nilai terhadap sesuatu itu karena
ia tidak berharga baginya tetapi mungkin bagi orang lain malah mempunyai nilai
yang sangat tinggi karena itu sangatlah berharga baginya.
Perbedaan
antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide
atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap
oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai
itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Jika
kita kembali kepada ilmu pengetahuan, maka kita akan membahas masalah benar dan
tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika dimana persoalan nilai adalah persoalan
penghayatan, perasaan, dan kepuasan. Ringkasan persoalan nilai bukanlah
membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah
soal baik dan buruk, senang atau tidak senang.
Masalah
kebenaran memang tidak terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai
logika. Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika
dimana pembahasan tentang nilai ini banyak teori yang dikemukakan oleh beberapa
golongan dan mepunyai pandangan yang tidak sama terhadap nilai itu. Seperti
nilai yang dikemukakan oleh agama, positifisme, fragmatisme, fitalisme,
hidunisme dan sebagainya.
1.
Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani
yaitu dari kata ethos yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang
memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nos
yang berarti adat kebiasaan juga.[13]
Akan tetapi pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu sama
lainnya. Etika ini bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek. Etika
mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral
mempersoalkan bagaimana semestinya tndakan manusia itu. Etika hanya
mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum.
Secara singkat definisi etika dan moral adalah suatu teori mengenai tingkah
laku manusia yaitu baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal.
Moral adalah suatu ide tentang
tingkah laku manusia (baik dan buruk) menurut situasi yang tertentu. Jelaslah
bahwa fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku
perbuatan manusia (baik dan buruk) akan tetapi dalam prakteknya etika banyak
sekali mendapatkan kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik
dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu tidal terlepas
dari alam masing-masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir
untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat
diterima oleh semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu
tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua
tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika.
Namun, etika memiliki makna yang
bervariasi. Bertens menyebutkan ada tiga jenis makna etika sebagai berikut :
a.
Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
b.
Etika dalam ati kumpulan asas atau nilai norma ( kode
etik)
c.
Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang yang baik
dan yang buruk.disini etika sama arti nya dengan filsafat moral.[14]
2.
Estetika
Estetika dan etika sebenarnya hampir
tidak berbeda. Etika membahas masalah tingkah laku perbuatan manusia (baik dan
buruk). Sedangkan estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Tujuan
estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku umum tentang apa yang indah
dan tidak indah itu.
Yang jelas dalam hal ini adalah karya seni manusia atau mengenai
alam semesta ini. Seperti dalam etika dimana kita sangat sukar untuk menemukan
ukuran itu bahkan sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran perbuatan baik
dan buruk yang dilakukan oleh manusia. Estetika juga menghadapi hal yang sama,
sebab sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran yang dapat berlaku umum
mengenai ukuran indah itu. Dalam hal ini ternyata banyak sekali teori yang
membahas mengenai masalah ukuran indah itu. Zaman dahulu kala, orang berkata
bahwa keindahan itu bersifat metafisika (abstrak). Sedangkan dalam teori
modern, orang menyatakan bahwa keindahan itu adalah kenyataan yang sesungguhnya
atau sejenis dengan hakikat yang sebenarnya bersifat tetap.
Estetika dapat dikatakan sebagai
teori tentang keindahan atau seni. Estetika berkaitan dengan nilai indah-jelek
( tidak indah). Nilai estetika berarti nilai tentang keindahan. Keindahan dapat
diberi makna secara luas/secara sempit, dan estetika murni.
a.
Secara luas, keindahan mengandung ide kebaikan.bahwa
segala sesuatu yang baik termasuk yang abstrak maupun nyata yang mengandung ide
kebaikan adalah indah. Keindahan dalam arti luas meliputi banyak hal, seperti
watak yang indah, hukum yang indah, ilmu yang indah,dan kebajikan yang indah.
b.
Secara sempit, yaitu indah yang terbatas pada lingkup
persepsi penglihatan (bentuk dan warna)
c.
Secara estetika murni, menyangkut pengalaman estetika
seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yg diresapinya melalui
penglihatan, pendengaran, perabaan dan perasaan, yg semuanya dapat menimbulkan
persepsi (anggapan ) indah.
C. Tanggung Jawab
Sosial Ilmuwan
1.
Hubungan antara Ilmu dan Moral
Merupakan kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi.
Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah disamping penciptaan berbagai
kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman,
pendidikan, dan komunikasi.[15]
Perkembangan ilmu, sejak
pertumbuhannya diawali dan dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas
saat itu. Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan manusia untuk
memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga penemuan ilmu bukan saja
ditujukan untuk menguasai alam melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua
manusia dan untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan kemajuan
ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor manusia. Penemuan ilmu semestinya
untuk kepentingan manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan
manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah yang akhirnya harus
menyesuaikan diri dengan ilmu.
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan dari pada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya.[16]
Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan dari pada masalah moral. Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan teknologi mana yang tidak. Secara konseptual maka hal ini berarti bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya.[16]
Dihadapkan dengan masalah moral
dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para
ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan
bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis
maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan
terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua berpendapat
bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian,
maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi
dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita
menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.[17]
Secara filsafat dapat dikatakan
bahwa dalam tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari
segi ontologi keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah
moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan. Ontologi diartikan sebagai
pengkajian mengenai hakikat realitas dari obyek yang ditelaah dalam membuahkan
pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Setiap pengetahuan, termasuk
pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Epistemologi membahas cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang dalam
kegiatan keilmuan disebut metode ilmiah.
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab
pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal,
karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan
dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.[18]
Ilmu yang diusahakan dengan
aktivitas manusia harus dilaksanakan dengan metode tertentu sehingga
mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Manusia harus mempunyai moral jika ia
ingin dihormati sesamanya. Untuk menerapkan ilmu pengatahuan dan teknologi
membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan untuk proses perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi lebih lanjut.
Jadi jelaslah bahwa Ilmu dan moral
memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Seperti yang telah diutarakan diatas
bahwa ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya
tidak bermoral atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada.
Tetapi, sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika
dimanfaatkan secara benar dan tepat serta mengindahkan aspek moral. Dengan
demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seorang ilmuwan memiliki landasan moral
yang kuat. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, seorang
ilmuwan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya
bencana kemanusian bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh
orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan dengan
kejahatan orang yang tidak berilmu.
Proses menemukan kebenaran secara
ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses
tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan.
Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau
tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral.[19]
Kebenaran berfungsi bukan saja
sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat
untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh
kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut
namun juga sebagai prototipe moral yang baik.
Di bidang etika tanggung jawab
sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia
harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka, menerima
kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya
benar dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini beserta sifat lainnya
merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah.
Salah satu sendi masyarakat modern
adalah ilmu dan teknologi. Inilah merupakan tanggung jawab sosial seorang
ilmuwan. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya
dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya itu
adalah bangsanya sendiri. Seorang ilmuwan tidak boleh berpangku tangan, dia
harus memilih sikap, berpihak kepada kemanusiaan. Pilihan moral memang
terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih. Seorang ilmuwan tidak
boleh menyembunyikan hasil penemuannya itu, apapun juga bentuknya dari
masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan terjadi dari
penemuannya itu. Seorang ilmuwan tidak boleh memutar balikkan temuannya jika
hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangka pemikiran yang
terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena bertentangan
dengan fakta-fakta pengujian.
Seorang ilmuwan juga mempunyai
tanggung jawab sosial di bahunya. Bukan saja karena ia adalah warga masyarakat
yang kepentingannya terlibat secara langsung dengan di masyarakat, yang lebih
penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
manusia. Sampai ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten
dengan proses penelaahan keilmuwan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu
itu bebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuannya sendiri
yang memberikan nilai.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
pembahasan di atas menyatakan sikap menolak terhadap dijadikannya manusia
sebagai obyek penelitian genetika. Secara moral kita lakukan evaluasi etis
terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek formal ilmu. Menghadapi Ilmu dan
teknologi yang telah berkembang begitu pesat yang sudah merupakan kenyataan
maka moral hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana
sebaiknya kita mempergunakan teknologi untuk keluhuran martabat manusia.
Menghadapi revolusi genetika yang baru di ambang pintu, dan tanggung jawab
sosial seorang ilmuwan dalam menangani revolusi genetika. Aksiologi memandang
permasalahan diatas dapat dilihat dari baik buruknya seorang ilmuwan itu
sendiri yang mempunyai ilmu dan moral serta tanggung jawab sosial dalam
menyikapi revolusi genetika.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penyajian makalah tentang ilmu
dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan dan revolusi genetika dapat kami tarik
kesimpulan bahwa:
1.
Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah
seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman
manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Moral adalah sistem
nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa ajaran (agama) dan paham
(ideologi) sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari
generasi ke generasi berikutnya. Jadi hubungan antara ilmu dan moral adalah
sangat erat bahwa setiap usaha manusia untuk menyelidiki, menemukan, dan
meningkatkan pemahaman dari berbagai segi harus berpedoman pada ajaran agama
dan paham ideologi dalam bersikap dan bertindak.
2.
Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat
adalah suatu kewajiban seorang ilmuwan untuk mengetahui masalah sosial dan cara
penyelesaian permasalahan sosial tersebut. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung
jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya
terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena
dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A.G.M, Ilmu van Melsen Pengetahuan dan Tnggung Jawab Kita,
(Jakarta Gramedia Pustaka Utama,
Hamid Farida, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya : Penerbit
Apollo, 2002
Ihsan, Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.
Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bum Aksara, 2009.
Suriasumantri,
Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998
Suriasumantri
Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapa, 2000
[1]Suriasumantri Jujun S, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
2000.
[2](http://iqbalsatu.blogspot.com/2009/10/tanggung-jawab-sosial-ilmuwan-html), diakses pada tanggal 29 desember 2013.
[3]Jujun S
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1998), 234
[4]Farida Hamid, Kamus
Ilmiah Populer Lengkap, (Surabaya : Penerbit Apollo,1995), 19
[5]Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), 231
[7]Fuad Ihsan, 108
[8]Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta
: Bumi Aksara, 2009), 56-57
[9]Fuad Ihsan,
111-112
[10]Surajiyo, 147
[11]Fuad Ihsan, 271
[12]Surajiyo, 147
[13]A.G.M, Ilmu van Melsen Pengetahuan dan Tnggung Jawab Kita,
(Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1992), 56
[14]Ibid.
[15]Suriasumantri,
2000, 229
[16]Ibid, 234
[17]Ibid, 235
[18]Fuad Ihsan, 280
[19]Suriasumantri, 244