TEORI BELAJAR BERMAKNA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Teori Belajar dan
Model-model Pembelajaran
OLEH
SYAMSUL
ARIF
Dosen Pengampu
Dr. H. Askar, M.Pd
Dr. Adam, M.Pd, M.si
PASCASARJANA (S2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PALU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar pada hakekatnya merupakan proses perubahan di dalam
kepribadian yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, dan kepandaian.[1]
Perubahan ini bersifat menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu
hasil dari latihan atau pengalaman. Dengan kata lain, belajar akan lebih
bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan
mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang/guru
menjelaskan. Pembelajaran itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses
interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan
pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika
dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak.
Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar
terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses
interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan
pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi
anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan
memberikan rasa aman bagi anak.[2]
Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar
terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan
kreatifitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan
pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada
keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui
perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran
yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah dengan kreatifitas guru
akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.[3]
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas kami dapatlah ditarik
rumusan masalah yaitu;
1. Apa pengertian teori belajar
bermakna?
2. Bagaimana Konsep Dasar Dan
Prinsip-Prinsp Teori Belajar Bermakna?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian teori
belajar bermakna.
2. Untuk mengetahui Konsep Dasar Dan
Prinsip-Prinsip Teori Belajar Bermakna.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Belajar Bermakna
Belajar bermakna adalah belajar di mana siswa harus
mengkaitkan konsep baru dengan yang diperolehnya dalam bentuk proposisi
(hubungan antar konsep) yang benar.[4]
Menurut David P. Ausubel adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa lebih
mudah memahami dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan bagi
siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan
yang sudah ada dalam pikirannya.[5]
Sehingga belajar dengan “membeo” atau
belajar hafalan (rote learning)
adalah tidak bermakna (meaningless)
bagi siswa. Belajar hafalan terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan yang lama. Sebagai ahli psikologi
pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan
memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar
melalui bahasa (meaningful verbal
learning).
Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi
verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu
belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna.
Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang
bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa
siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba
saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa
sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran
baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya
itu ada.
Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan
Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan
pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah
dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam
konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa
dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan
potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti
Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama
mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka
banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat
pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu.
Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan,
peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar
bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna
kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya
dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa[6]
Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau mengaitkan
informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar
bermakna. Nasution menyimpulkan kondisi- kondisi belajar bermakna sebagai
berikut :
1.
Menjelaskan hubungan atau relevansi
bahan- bahan baru dengan bahan- bahan lama
2.
Lebih dahulu diberikan ide yang
paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih terperinci
3.
Menunjukkan persamaan dan perbedaan
antara bahan baru dengan bahan lama.
4.
Mengusahakan agar ide yang telah ada
dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan[7].
Empat
tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
1.
Belajar dengan penemuan yang
bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi
pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang
ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang
sudah ada.
2.
Belajar dengan penemuan yang tidak
bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa
mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan
3.
Belajar menerima (ekspositori) yang
bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada
siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan
pengetahuan yang ia miliki[8].
B. Konsep Dasar Dan Prinsip-Prinsp Teori
Belajar Bermakna
Menurut Ausubel bahan
subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran
bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif
ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari
dan diingat siswa. Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran
di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah
dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran. Pembelajaran bermakna
terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur
pengetahuan mereka.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan untuk menerapkan
belajar bermakna Ausebel sebagai berikut :
1.
Advance Organizer (Handout)
Penyampaian awal tentang materi yang
akan dipelajari siswa diharapkan siswa secara mental akan siap untuk menerima
materi kalau mereka mengatahui sebelumnya apa yang akan disampaikan guru.
2.
Progressive Differensial
Materi pelajaran yang disampaikan guru
hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal atau konsep yang umum, kemudian
dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai dengan contoh-contoh.
3.
Integrative Reconciliation
Penjelasan yang diberikan oleh guru
tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah mereka ketahui dengan
konsep yang baru saja dipelajari.
4.
Consolidation
Pemantapan materi dalam bentuk
menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham
dan selanjutnya siap menerima materi baru[9].
Kemudian Suparno juga mengatakan, bahwa pembelajaran
bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana informasi baru dihubungkan
dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seorang yang sedang dalam proses
pembelajaan[10].
Pembelajaran bermakan terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke
dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan pelajaran itu harus cocok
dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki
siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang
sudah dimilki siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap
olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual emosional siswa terlibat dalam
kegiatan pembelajaran. Pembelajaran bermakna adalah pembelajaran yang
menyenangkan yang akan memiliki keunggulan dalam meraup segenap informasi
secara utuh sehingga konsekuensi akhir meningkatkan kemampuan siswa.
Pembelajaran bermakna erat kaitannya dengan teori
konstruktivisme pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator Constructivism).
Paham ini berpendapat bahwa siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau
menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu
konteks sosial.[11]
Teori belajar ini merupakan teori tentang penciptaan makna. Selanjutnya, teori
ini dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Constructivism)
yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru
berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui dan dipercayai
dengan fenomena, ide atau informasi baru yang dipelajari.
Langkah-langkah kegiatan yang mengarah
pada timbulnya pembelajaran bermakna adalah sebagai berikut:
- Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik, melainkan juga diarahkan untuk mengembangkan sikap dan minat belajar serta potensi dasar siswa.
- Topik-topik yang dipilih dan dipelajari didasarkan pada pengalaman anak yang relevan. Pelajaran tidak dipersepsi anak sebagai tugas atau sesuatu yang dipaksakan oleh guru, melainkan sebagai bagian dari atau sebagai alat yang dibutuhkan dalam kehidupan anak.
- Metode mengajar yang digunakan harus membuat anak terlibat dalam suatu aktivitas langsung dan bersifat bermain yang menyenangkan.
- Dalam proses belajar perlu diprioritaskan kesempatan anak untuk bermain dan bekerjasama dengan orang lain.
- Bahan pelajaran yang digunakan hendaknya bahan yang konkret
- Dalam menilai hasil belajar siswa, para guru tidak hanya menekankan aspek kognitif dengan menggunakan tes tulis, tetapi harus mencakup semua domain perilaku anak yang relevan dengan melibatkan sejumlah alat penilaian.[12]
Pembelajaran bermakna bisa terjadi jika
relevan dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi instrinsik dan
kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan
intensitas keingintahuan peserta didik tentang bidang studi tertentu. Dalam
hubungan ini, Rogers mengemukakan
tentang iklim kelas yang memungkinkan terjadinya belajar bermakna, yaitu
sebagai berikut:
- Terimalah peserta didik apa adanya.
- Kenali dan bina peserta didik melalui penemuannya terhadap diri sendiri.
- Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memlilh dan menggunakannya.
- Gunakan pendekatan iquiry-discovery.
- Tekankan pentingnya pendekatan diri sendiri dan biarkan peserta didik mengambil tanggung jawab sendiri untuk memenuhi tujuan belajarnya[13]
Hal ini menjadikan siswa harus aktif
menemukan sendiri pengetahuan yang ingin mereka miliki. Maka disini tugas guru
tidak lagi sebagai mentransfer ilmu kepada siswa, melainkan bagaimana
menciptakan suasana belajar dan merencanakan kegiatan pembelajaran yang
memungkinkan siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan untuk dimiliki oleh mereka
sendiri. Sehingga kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi belajar bermakna (meaningful
learning) itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses dikaitkannya
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai
oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau
situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif
siswa. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta
belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk
menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami
secara baik dan tidak mudah dilupakan.
Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak
mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak
indera daripada hanya mendengarkan orang/guru menjelaskan. Pembelajaran itu
sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak,
anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini
akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan
memberikan rasa aman bagi anak. Proses belajar bersifat individual dan
kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan
perkembangannya dan lingkungannya.
B. Saran
Untuk menjadi seorang pelajar yang baik perlu adanya
pemahaman akan arti belajar bermakna sehingga kita dapat memahami dalam
mengaitkan informasi dengan konsep yang disajikan dalam tiap materi, dalam hal
ini kita jangan menghafal semua materi yang ada karena sangat tidak efektif
untuk dapat menerapkan ilmu yang kita peroleh
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,
Mulyono, Pendidikan Bagi Anak
Berkesulitan Belajar, cet.2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009.
Budiningsih, C.
Asri, Belajar dan Pembelajaran,
cet.1, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Harjanto, Perencanaan
Pengajaran, cet.2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Joyce, Bruce,
et. al, Models of Teaching, cet. 1, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
Pidarta, Made. Landasan Kependidikan. Jakarta:Rineka Cipta 2007.
Roestiyah N.K, Masalah-Masalah
Ilmu Keguruan, cet. 3, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1989.
Sadiman, Arief
S. et al, Media Pendidikan: Pengertian, Pengembanga, dan Pemanfaatannya,
cet. 4, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Santrock, Jhon.
W. Psikologi Pendidikan, terj. Tri Wibowo. B.S, Jakarta,: Kencana, 2011.
Soekamto,
Toeti, Perancangan dan Pengembangan Sistem Intruksional, Jakarta:
Intermedia, 1993.
Trianto, Mendesain
Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, cet.4, Jakarta: Kencana, 2009.
Wardani,
A.K, Psikologi Belajar, cet. 2,
Jakarta: Universitas Terbuka, 2000.
[1]C.
Asri. Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, cet.1 (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2005), h. 12.
[2]A.K.
Wardani, Psikologi Belajar, cet. 2 (Jakarta: Universitas Terbuka, 2000),
h. 4
[3]C.
Asri. Budiningsih,h. 13
[4]Made
Pidarta, Landasan Kependidikan. (Jakarta:Rineka
Cipta, 2007), 124
[5]Ibid
[6]Bruce
Joyce, et.. al, Models of Teaching, cet. 1, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2009), 211
[7]Arief
S. Sadiman, et al, Media Pendidikan: Pengertian, Pengembanga, dan
Pemanfaatannya, cet. 4 ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), 158
[11] Jhon. W
Santrock,. Psikologi Pendidikan, terj. Tri Wibowo. B.S, (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 310.
[12]Ibid
[13]Mulyono
Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, cet.2 (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2009), h.32.