Daftar Blog Saya

Jumat, 09 Mei 2014

Teori Belajar Bermakna



TEORI BELAJAR BERMAKNA









Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran



OLEH

SYAMSUL ARIF


Dosen Pengampu
Dr. H. Askar, M.Pd
Dr. Adam, M.Pd, M.si






PASCASARJANA (S2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALU

2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Belajar pada hakekatnya merupakan proses perubahan di dalam kepribadian yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, dan kepandaian.[1] Perubahan ini bersifat menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang/guru menjelaskan. Pembelajaran itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya.
 Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak    jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak.[2] Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya. Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar.[3]

B.  Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas kami dapatlah ditarik rumusan masalah yaitu;
1.      Apa pengertian teori belajar bermakna?
2.      Bagaimana Konsep Dasar Dan Prinsip-Prinsp Teori Belajar Bermakna?

C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian teori belajar bermakna.
2.      Untuk mengetahui Konsep Dasar Dan Prinsip-Prinsip Teori Belajar Bermakna.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Teori Belajar Bermakna
Belajar bermakna adalah belajar di mana siswa harus mengkaitkan konsep baru dengan yang diperolehnya dalam bentuk proposisi (hubungan antar konsep) yang benar.[4] Menurut David P. Ausubel adalah suatu proses pembelajaran dimana siswa lebih mudah memahami dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya.[5] Sehingga belajar dengan “membeo” atau belajar hafalan (rote learning) adalah tidak bermakna (meaningless) bagi siswa. Belajar hafalan terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang lama. Sebagai ahli psikologi pendidikan Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning).
Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya. Malah, ada bahaya bahwa siswa yang kurang mahir dalam hal ini akan banyak menebak dan mencoba-coba saja, tanpa menemukan sesuatu yang sungguh berarti baginya. Seandainya siswa sudah seorang ahli dalam mengadakan penelitian demi untuk menemukan kebenaran baru, bahaya itu tidak ada; tetapi jika siswa tersebut belum ahli, maka bahaya itu ada.
Ia juga berpendapat bahwa pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa[6]
Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna. Nasution menyimpulkan kondisi- kondisi belajar bermakna sebagai berikut :
1.        Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan- bahan baru dengan bahan- bahan lama
2.        Lebih dahulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal- hal yang lebih terperinci
3.        Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama.
4.        Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan[7].

Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
1.      Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
2.      Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan
3.      Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki[8].


B.  Konsep Dasar Dan Prinsip-Prinsp Teori Belajar Bermakna
Menurut Ausubel bahan subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.  Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan untuk menerapkan belajar bermakna Ausebel sebagai berikut :
1.      Advance Organizer (Handout)
Penyampaian awal tentang materi yang akan dipelajari siswa diharapkan siswa secara mental akan siap untuk menerima materi kalau mereka mengatahui sebelumnya apa yang akan disampaikan guru.
2.      Progressive Differensial
Materi pelajaran yang disampaikan guru hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal atau konsep yang umum, kemudian dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai dengan contoh-contoh.
3.      Integrative Reconciliation
Penjelasan yang diberikan oleh guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah mereka ketahui dengan konsep yang baru saja dipelajari.
4.      Consolidation
Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru[9].

Kemudian Suparno  juga  mengatakan, bahwa pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seorang yang sedang dalam proses pembelajaan[10]. Pembelajaran bermakan terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimilki siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran bermakna adalah pembelajaran yang menyenangkan yang akan memiliki keunggulan dalam meraup segenap informasi secara utuh sehingga konsekuensi akhir meningkatkan kemampuan siswa.
Pembelajaran bermakna erat kaitannya dengan teori konstruktivisme pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator Constructivism). Paham ini berpendapat bahwa siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial.[11] Teori belajar ini merupakan teori tentang penciptaan makna. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Constructivism) yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui dan dipercayai dengan fenomena, ide atau informasi baru yang dipelajari.
Langkah-langkah kegiatan yang mengarah pada timbulnya pembelajaran bermakna adalah sebagai berikut:
  • Orientasi mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik, melainkan juga diarahkan untuk mengembangkan sikap dan minat belajar serta potensi dasar siswa.
  • Topik-topik yang dipilih dan dipelajari didasarkan pada pengalaman anak yang relevan. Pelajaran tidak dipersepsi anak sebagai tugas atau sesuatu yang dipaksakan oleh guru, melainkan sebagai bagian dari atau sebagai alat yang dibutuhkan dalam kehidupan anak.
  • Metode mengajar yang digunakan harus membuat anak terlibat dalam suatu aktivitas langsung dan bersifat bermain yang menyenangkan.
  • Dalam proses belajar perlu diprioritaskan kesempatan anak untuk bermain dan bekerjasama dengan orang lain.
  • Bahan pelajaran yang digunakan hendaknya bahan yang konkret
  • Dalam menilai hasil belajar siswa, para guru tidak hanya menekankan aspek kognitif dengan menggunakan tes tulis, tetapi harus mencakup semua domain perilaku anak yang relevan dengan melibatkan sejumlah alat penilaian.[12]
Pembelajaran bermakna bisa terjadi jika relevan dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi instrinsik dan kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan intensitas keingintahuan peserta didik tentang bidang studi tertentu. Dalam hubungan ini, Rogers  mengemukakan tentang iklim kelas yang memungkinkan terjadinya belajar bermakna, yaitu sebagai berikut:
  • Terimalah peserta didik apa adanya.
  • Kenali dan bina peserta didik melalui penemuannya terhadap diri sendiri.
  • Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memlilh dan menggunakannya.
  • Gunakan pendekatan iquiry-discovery.
  • Tekankan pentingnya pendekatan diri sendiri dan biarkan peserta didik mengambil tanggung jawab sendiri untuk memenuhi tujuan belajarnya[13]
Hal ini menjadikan siswa harus aktif menemukan sendiri pengetahuan yang ingin mereka miliki. Maka disini tugas guru tidak lagi sebagai mentransfer ilmu kepada siswa, melainkan bagaimana menciptakan suasana belajar dan merencanakan kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan untuk dimiliki oleh mereka sendiri. Sehingga kegiatan pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa.





BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Jadi belajar bermakna (meaningful learning) itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan.
Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang/guru menjelaskan. Pembelajaran itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya.

B. Saran
Untuk menjadi seorang pelajar yang baik perlu adanya pemahaman akan arti belajar bermakna sehingga kita dapat memahami dalam mengaitkan informasi dengan konsep yang disajikan dalam tiap materi, dalam hal ini kita jangan menghafal semua materi yang ada karena sangat tidak efektif untuk dapat menerapkan ilmu yang kita peroleh
















DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono,  Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, cet.2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009.
Budiningsih, C. Asri,  Belajar dan Pembelajaran, cet.1, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Harjanto, Perencanaan Pengajaran, cet.2, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Joyce, Bruce, et. al, Models of Teaching, cet. 1, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.
Pidarta, Made. Landasan Kependidikan. Jakarta:Rineka Cipta 2007.
Roestiyah N.K, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, cet. 3, Jakarta : PT. Bina Aksara, 1989.
Sadiman, Arief S. et al, Media Pendidikan: Pengertian, Pengembanga, dan Pemanfaatannya, cet. 4, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Santrock, Jhon. W. Psikologi Pendidikan, terj. Tri Wibowo. B.S, Jakarta,: Kencana, 2011.
Soekamto, Toeti, Perancangan dan Pengembangan Sistem Intruksional, Jakarta: Intermedia, 1993.
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, cet.4, Jakarta: Kencana, 2009.
Wardani, A.K,  Psikologi Belajar, cet. 2, Jakarta: Universitas Terbuka, 2000.





[1]C. Asri. Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, cet.1 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h. 12.
[2]A.K. Wardani, Psikologi Belajar, cet. 2 (Jakarta: Universitas Terbuka, 2000), h. 4
[3]C. Asri. Budiningsih,h. 13
[4]Made Pidarta, Landasan Kependidikan. (Jakarta:Rineka Cipta, 2007), 124
[5]Ibid
[6]Bruce Joyce, et.. al, Models of Teaching, cet. 1, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), 211

[7]Arief S. Sadiman, et al, Media Pendidikan: Pengertian, Pengembanga, dan Pemanfaatannya, cet. 4 ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), 158
[8] Bruce Joyce h. 213
[9] Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, cet.4 (Jakarta: Kencana, 2009), h.35
[10] Harjanto, Perencanaan Pengajaran, cet.2 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), h. 159
[11] Jhon. W Santrock,. Psikologi Pendidikan, terj. Tri Wibowo. B.S, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 310.

[12]Ibid
[13]Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, cet.2 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), h.32.