Makalah Revisi
TEORI KEBENARAN FILSASFAT
(Korespondensi,
Konsistensi, Dan Pragmatis)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Filsafat Ilmu
OLEH
SYAMSUL ARIF
Dosen Pengampu
Dr. H.
Muhtadin Dg. Mustafa, M.Hi
PASCASARJANA (S2)
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) PALU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia selalu berusaha menemukan
kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain
dengan menggunakan korespondensi, koherensi,
pragmatis, religious, dan sintaksis. Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional,
sehingga kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dianggap dapat dimengerti
dan benar hukumnya sesuai dengan teori yang dipakai.
Pengetahuan inderawi merupakan
struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih
tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih
rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya
kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah
pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Dalam filsafat pengkajian tentang
standar kebenaran amat penting sebab salah satu definisi filsafat adalah cinta
terhadap kebenaran. Aristoteles, filsafat Yunani sangat kagum terhadap Plato
yang memang gurunya namun dia lebih mencintai kebenaran ketimbang mencntai
plato. Begitu juga Al-Ghozali yang serius mencari kebenaran hingga dia
mengeluarkan pertanyaan dalam dirinya, aliran mana yang paling benar dari semua
aliran itu.
Dalam hal ini, penulis akan membahas
terkait dengan “teori kebenaran (koherensi, korespondensi, pragmatis dan
konsistensi)”
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah
pada pembahasan ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa
pengertian kebenaran?
2.Bagaimana menemukan teori kebenaran korespondensi, konsistensi, dan
pragmatis?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian teori kebenaran korespondensi, konsistensi, dan pragmatis
2.
Untuk Bagaimana menemukan teori kebenaran korespondensi,
konsistensi, dan pragmatis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya
Pendidikan pada umumnya dan ilmu
pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan,
menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat
untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah
satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi
fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan
obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang
sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran
itu?
Jika manusia mengerti dan memahami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu.
Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan
kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik
spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan
tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah
kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran
mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran Illahi, ada
kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
Kebenaran adalah satu nilai utama di
dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu
berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Berdasarkan scope potensi subjek,
maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi:
1. Tingkatan
kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang
dialami manusia
2. Tingkatan
ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah
pula dengan rasio
3. Tingkat
filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan
religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenarna ini
berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara
terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang
dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya
pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca
indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan,
fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu, membina dan
menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Manusia selalu mencari kebenaran,
jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya
dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang
dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Ukuran Kebenarannya :
1.
Berfikir merupakan suatu aktifitas
manusia untuk menemukan kebenaran
2.
Apa yang disebut benar oleh
seseorang belum tentu benar bagi orang lain
3.
Oleh karena itu diperlukan suatu
ukuran atau kriteria kebenaran
Jenis-jenis Kebenaran :
1. Kebenaran
Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
2. Kebenaran
ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)
3. Kebenaran
semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Manusia selalu mencari kebenaran,
jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu
yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya
dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang
dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Kebenaran agama yang ditangkap
dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani merupakan puncak
kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal dari
Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran
ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama
menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas
kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan
pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di
dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk
dijalankan oleh manusia.
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
1.
Korespondensi
Teori Korespondensi (The
Correspondence Theory of Thruth) adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan
yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau
suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari
keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi oleh
responden.[1]
Teori kebenaran korespondensi adalah
teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori
kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan
harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan bahwa
teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh bersimpangan/bersebrangan
dengan kenyataan yang menjadi objek.
Dalam teori kebenaran korespondensi
tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau objek yang tidak dapat
diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia
harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan
objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
Teori korespondensi menggunakan alur
berfikir induktif, artinya berfikir dengan bertolak dari hal-hal khusus
ke umum. Dengan pengertian lain, menarik kesimpulan diakhir setelah ada
fakta-fakta pendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya.[2]
Menurut Soejono Soemargono Dalam teori
ini terdapat tiga kesukaran dalam menentukan kebenaran yang disebabkan karena :
1. Teori
korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana
mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu
pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang
benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
2. Teori
korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita
harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut
berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak
mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.
3. Kelemahan
teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang
cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang dijadikan
sebagai sebuah kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.[3]
Kebenaran adalah kesesuaian
pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan
sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1. Statemaent
(pernyataan)
2.
Persesuaian (agreemant)
3. Situasi
(situation)
4. Kenyataan
(realitas)
5. Putusan
(judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality
(kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis.
Pelopornya Plato, Aristotels dan Moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu
Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika
induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru korespondensi
ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak
ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran
itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai
dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus mewujudkan di
dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus
mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan
nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga
kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku.
Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus
dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai)
bila sesuai maka itu benar.
Sebuah ketelitian dan kesigapan
dalam menentukan sebuah kebenaran dalam menentukan teori kebenaran koresponensi
sangat diutamakan sebab untuk menghindari kesalahan yang terjadi atas tiga hal
tersebut. Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan
alam harus dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui/menguasai realitas yang
ada dan cermat.
Kesimpulannya
menerangkan bahwa
kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian
antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang
dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Contoh teori korespondensi “bahwa pulau jawa merupakan
pulau yang terpadat penduduknya di Indonesia”. Pendendapat tersebut benar bukan
karena bersesuaian dengan pendapat orang lain sebelumnya, atau karena diterima
oleh banyak orang, melainkan bersesuaian dengan kenyataan yang sebenarnya. Ini
merupakan cirri dari ilmuwan yang selalu mengecek atau mengontrol
pikiran-pikirannya dengan data-data atau penemuan-penemuan.[4]
2. Koherensi
Menurut Amsal Bakhtiarr, koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan
ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang
dihubungkannya.[5]
Teori kebenaran koherensi ini
digunagan sebagai sebuah pesan / penarik kepada umum supaya perhatiannya
tertuju pada satu titik atau dengar arti lain, teori kebenaran koherensi
merupakan teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi.
Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari
pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini
mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.[6]
Seorang sarjana Barat A.C Ewing, menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan
bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan
tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal
tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan
terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari
pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita
menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat
ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa
saja.[7]
Teori ini punya banyak kelemahan dan
mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren,
tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk
oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara
pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah
benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima
dan kita ketahui kebenarannya.
Amsal Bakhtiarr mengungkapkan bahwa
ada dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah sebagai berikut:
a. Pernyataan
yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong
kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis
tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku
mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah
sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya
dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang
berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap
salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.
b. Sama halnya dalam
mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga
tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang
benar.[8]
Dua masalah ini lahir karena adanya
pertentangan keyakinan, moral maupun ketidaksanggupan untuk mengecek sebuah
pernyataan yang sudah dilontarkan dengan suatu
hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya rendah bahkan berat
untuk dipertanggungjawabkan.
Contoh dari teori koherensi yaitu
jika seseorang menerima pengetahuan baru, karena tersebut sesuai dengan
pengetahuan yang dimiliki, atau apabila melepaskan pendapat lama, karena
pendapat baru tersebut lebih bertautan secara harmonis dengan keseluruhgan
pengalaman da pengetahuan yang dimilikinya.
3. Teori Konsistensi
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian
(test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika
kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan
hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat
yang lain.
Menurut teori consistency untuk
menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan
realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya
dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena
itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali
berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori
ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan
khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah
bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat
melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan
teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti
kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti
kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence
theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada
perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang
telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika
pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan
lain yang telah diterima kebenarannya.[9]
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is
consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C.
Logika matematik yang deduktif
memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan
akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan
oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra
Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu
teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji.
Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori
lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
Contoh dari teori consistency yaitu, rumus-rumus dalam
matematika orang dapat membangun suatu system dalam geometri. Atau 2+2=4. Hal
ini menunjukkan konsistensi dalam suatu hal yang tidak akan berubah-ubah karena
sesuai dengan realita, dan menunjukkan kebenaran karena adanya konsistensi dengan
hukum-hukum berfikir formal tertentu.
4.
Pragmatis
White dalam
Amsal Bakhtiarr menyatakan teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori
kebenaran pragmatik. Paham pragmatik sesungguhnya merupakan pandangan filsafat
kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad
XX oleh tiga filusuf Amerika yaitu C.S Pierce, Wiliam James, dan john Dewey. [10]
Teori
pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic theory of truth.
Kata Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma, artinya yang
dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan.
Falsafah ini dikembangan oleh seorang bernama William James di Amerika Serikat.[11]
Menurut filsafat ini dinyatakan
bahwa sesuatu ucapan, hukum, atau sebuah
teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
manusia.
Pragmatisme menantang segala
otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran
adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability)
atau akibat yang memuaskan sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah
suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan
dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat
secara praktis.[12]
Teori ini pada dasarnya mengatakan
bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi,
benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur
dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Satu-satunya yang dijadikan
acuan pragmatis ini untuk menyebut
sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa
yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang
diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah
“berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak
mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.[13]
Jadi menurut pandangan penulis teori
ini bahwa suatu proposisi bernilai benar
bila proposisi ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis seperti yang
terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Karena setiap pernyataan
selalu selalu terikat pada hal-hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenran
yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan
segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senatiasa
berubah. Hal itu karena dalam prakteknya apa yang dianggap benar dapat
dikoreksi oleh pengalaman berikutmya. Atau dengan kata lain bahwa suatu
pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja
dapat dimanfaatkan praktis.
Contoh dari
teori pragmatis yaitu, hubungan emosional seseorang dapat terjalin dengan baik
jika terjadi interkasi social yang baik dalam setiap komunikasi yang dilakukan
sertiap harinya.
BAB III
KESIMPULAN
Kebenaran pertama-tama berkedudukan
dalam diri si pengenal. Kebenaran di beri batasan-batasan sebagai penyamaan
akal dengan kenyataan, yang terjadi pada taraf inderawi maupun akal budi tanpa
pernah sampai kesamaan sempurna yang dituju kebenaran dalam pengalaman manusia.
Ilmu-ikmu empiris memegang peranannya dalam usaha memegang kesamaannya itu.
Dalm bidang ilmu-ilmu itu sendiri pun kebenaran selalu bersifat sementara .
Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju
kebenaran, tepatnya perjalanan ilmu-ilmu itu merupakan suati sumbangan agar
pengetahuan diluar ilmu-ilmu itu makin lancar mendekati kebenaran.
Bahwa subtansi kebenaran adalah di
dalam interaksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat Wujud
kebenaran dutentukan potensi subyek yang menjangkaunya. Artinya fungsi-fungsi
potensi subyek apriori tersedia sesuai dengan materi dan tingkat
kebenaran yang ada di dalam alam semesta dan metafisis.
Semua teori kebenaran itu ada dan
dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing
mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat.
Jakarta: Yayasan Krisius,1976.
Soemargono, Soejono , ”Pengantar
Filsafat Ilmu”, dalam inleiding tot de wetenshapsleer, Beerling,
et.al. Yogyakarata: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.
Sumantri, Surya. Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1994.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu [Sebuah Pengantar Populer],
Jakarta : Yayasan Sinar Harapan. 2004
Syam, Muhammad Noor. Filsafat
Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha
Nasional.1988.
Tim
dosen filsafat ilmu UGM, Filsafat Ilmu. Yogyakakta: Liberty,
2007
W.J.S
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.1982.
[1]Soejono
Soemargono, ” Pengantar Filsafat Ilmu”, dalam inleiding tot de
wetenshapsleer, Beerling, et.al. (Yogyakarata: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1997), 9.
[2] Ibid, 10
[3] Ibid, 13
[4] Fuad
Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jkarta: Rineka Cipta, 2010), 85
[5]Amsal
Bakhtiarr, Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004),
125
[7] Ibid
[8]
Amsal
Bakhtiarr, Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004),
136
[9]http://defaultride.wordpress.com/2010/06/28/teori-teori-kebenaran-korespondensi-koherensi-pragmatik-struktural-paradigmatik-dan-performatik/ di akses pada tanggal 18 Desember 2014
[10] Ibid, 150
[11] Tim dosen filsafat ilmu
UGM, Filsafat Ilmu. (Yogyakakta: liberty, 2007), 135.
[12] Tim dosen filsafat ilmu
UGM, 137
[13] Tim dosen filsafat ilmu
UGM, 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar