Daftar Blog Saya

Jumat, 25 September 2015

TEORI KEBENARAN FILSASFAT



Makalah Revisi

TEORI KEBENARAN FILSASFAT

(Korespondensi, Konsistensi, Dan Pragmatis)






 















Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Filsafat Ilmu







OLEH



SYAMSUL ARIF





Dosen Pengampu

Dr. H. Muhtadin Dg. Mustafa, M.Hi



















PASCASARJANA (S2)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALU



2014





BAB I

PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan korespondensi, koherensi, pragmatis, religious, dan sintaksis. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, sehingga kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dianggap dapat dimengerti dan benar hukumnya sesuai dengan teori yang dipakai.

Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.

Dalam filsafat pengkajian tentang standar kebenaran amat penting sebab salah satu definisi filsafat adalah cinta terhadap kebenaran. Aristoteles, filsafat Yunani sangat kagum terhadap Plato yang memang gurunya namun dia lebih mencintai kebenaran ketimbang mencntai plato. Begitu juga Al-Ghozali yang serius mencari kebenaran hingga dia mengeluarkan pertanyaan dalam dirinya, aliran mana yang paling benar dari semua aliran itu.

Dalam hal ini, penulis akan membahas terkait dengan “teori kebenaran (koherensi, korespondensi, pragmatis dan konsistensi)”

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah pada pembahasan ini yaitu sebagai berikut:

1. Apa pengertian kebenaran?

2.Bagaimana menemukan teori kebenaran korespondensi, konsistensi, dan pragmatis?



C. Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui pengertian teori kebenaran korespondensi, konsistensi, dan pragmatis

2.      Untuk Bagaimana menemukan teori kebenaran korespondensi, konsistensi, dan pragmatis.










BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya

Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.

Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?

Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran Illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.

Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi:

1.  Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia

2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio

3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya

4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan



Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.

Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.

Ukuran Kebenarannya :

1.    Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran

2.    Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain

3.    Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran

Jenis-jenis Kebenaran :

1.      Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)

2.      Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)

3.      Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.

Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.

B.  Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

1.      Korespondensi

Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi oleh responden.[1]

Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum abad  Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan bahwa teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh bersimpangan/bersebrangan dengan kenyataan yang menjadi objek.

Dalam teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.

Teori korespondensi menggunakan alur berfikir induktif, artinya  berfikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan pengertian lain, menarik kesimpulan diakhir setelah ada fakta-fakta pendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya.[2]

Menurut Soejono Soemargono Dalam teori ini terdapat tiga kesukaran dalam menentukan kebenaran yang disebabkan karena :

1.      Teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.

2.      Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan.

3.      Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang dijadikan sebagai sebuah kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam.[3]





Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :

1. Statemaent (pernyataan)

2. Persesuaian (agreemant)

3. Situasi (situation)

4. Kenyataan (realitas)

5. Putusan (judgements)



Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya Plato, Aristotels dan Moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.

Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.

Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.

Sebuah ketelitian dan kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran dalam menentukan teori kebenaran koresponensi sangat diutamakan sebab untuk menghindari kesalahan yang terjadi atas tiga hal tersebut. Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan alam harus dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui/menguasai realitas yang ada dan cermat.

Kesimpulannya menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

Contoh teori korespondensi “bahwa pulau jawa merupakan pulau yang terpadat penduduknya di Indonesia”. Pendendapat tersebut benar bukan karena bersesuaian dengan pendapat orang lain sebelumnya, atau karena diterima oleh banyak orang, melainkan bersesuaian dengan kenyataan yang sebenarnya. Ini merupakan cirri dari ilmuwan yang selalu mengecek atau mengontrol pikiran-pikirannya dengan data-data atau penemuan-penemuan.[4]

2.    Koherensi

Menurut Amsal Bakhtiarr, koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dihubungkannya.[5]

Teori kebenaran koherensi ini digunagan sebagai sebuah pesan / penarik kepada umum supaya perhatiannya tertuju pada satu titik atau dengar arti lain, teori kebenaran koherensi merupakan teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain.[6]

Seorang sarjana Barat A.C Ewing,  menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.[7]

Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.

Amsal Bakhtiarr mengungkapkan bahwa ada dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah sebagai berikut:

a.       Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya.

b.      Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.[8]



Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun ketidaksanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan dengan suatu  hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya rendah bahkan berat untuk dipertanggungjawabkan.

Contoh dari teori koherensi yaitu jika seseorang menerima pengetahuan baru, karena tersebut sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki, atau apabila melepaskan pendapat lama, karena pendapat baru tersebut lebih bertautan secara harmonis dengan keseluruhgan pengalaman da pengetahuan yang dimilikinya.

3.      Teori Konsistensi

Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.

Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.

Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.

Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.

Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.[9]

Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C.

Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.

Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.

Contoh dari teori consistency yaitu, rumus-rumus dalam matematika orang dapat membangun suatu system dalam geometri. Atau 2+2=4. Hal ini menunjukkan konsistensi dalam suatu hal yang tidak akan berubah-ubah karena sesuai dengan realita, dan menunjukkan kebenaran karena adanya konsistensi dengan hukum-hukum berfikir formal tertentu.

4.      Pragmatis

White dalam Amsal Bakhtiarr menyatakan teori kebenaran tradisional lainnya adalah teori kebenaran pragmatik. Paham pragmatik sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filusuf Amerika yaitu C.S Pierce, Wiliam James, dan john Dewey. [10]

Teori pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic theory of truth. Kata Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma,  artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Falsafah ini dikembangan oleh seorang bernama William James di Amerika Serikat.[11]

Menurut filsafat ini dinyatakan bahwa sesuatu  ucapan, hukum, atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat. Suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.

Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.[12]

Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.

Satu-satunya yang dijadikan acuan  pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.[13]

Jadi menurut pandangan penulis teori ini bahwa suatu  proposisi bernilai benar bila proposisi ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Karena setiap pernyataan selalu selalu terikat pada hal-hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senatiasa berubah. Hal itu karena dalam prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutmya. Atau dengan kata lain bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja dapat dimanfaatkan  praktis.

Contoh dari teori pragmatis yaitu, hubungan emosional seseorang dapat terjalin dengan baik jika terjadi interkasi social yang baik dalam setiap komunikasi yang dilakukan sertiap harinya.

























BAB III

KESIMPULAN



Kebenaran pertama-tama berkedudukan dalam diri si pengenal. Kebenaran di beri batasan-batasan sebagai penyamaan akal dengan kenyataan, yang terjadi pada taraf inderawi maupun akal budi tanpa pernah sampai kesamaan sempurna yang dituju kebenaran dalam pengalaman manusia. Ilmu-ikmu empiris memegang peranannya dalam usaha memegang kesamaannya itu. Dalm bidang ilmu-ilmu itu sendiri pun kebenaran selalu bersifat sementara . Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran, tepatnya perjalanan ilmu-ilmu itu merupakan suati sumbangan agar pengetahuan diluar ilmu-ilmu itu makin lancar mendekati kebenaran.

Bahwa subtansi kebenaran adalah di dalam interaksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat Wujud kebenaran dutentukan potensi subyek yang menjangkaunya. Artinya fungsi-fungsi potensi subyek apriori tersedia sesuai dengan materi dan tingkat kebenaran yang ada di dalam alam semesta dan metafisis.

Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.








DAFTAR PUSTAKA



Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius,1976.




Soemargono, Soejono , ”Pengantar Filsafat Ilmu”, dalam inleiding tot de wetenshapsleer, Beerling,  et.al. Yogyakarata: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.

Sumantri, Surya. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1994.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu [Sebuah Pengantar Populer], Jakarta : Yayasan Sinar Harapan. 2004

Syam, Muhammad Noor. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.1988.

Tim dosen filsafat ilmu UGM, Filsafat Ilmu. Yogyakakta: Liberty, 2007



W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.1982.













[1]Soejono Soemargono, ” Pengantar Filsafat Ilmu”, dalam inleiding tot de wetenshapsleer, Beerling,  et.al. (Yogyakarata: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997), 9.
[2] Ibid, 10
[3] Ibid, 13
[4] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jkarta: Rineka Cipta, 2010), 85
[5]Amsal Bakhtiarr, Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), 125
[7] Ibid
[8] Amsal Bakhtiarr, Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), 136
[10] Ibid, 150
[11] Tim dosen filsafat ilmu UGM, Filsafat Ilmu. (Yogyakakta: liberty, 2007), 135.
[12] Tim dosen filsafat ilmu UGM, 137
[13] Tim dosen filsafat ilmu UGM, 142

Tidak ada komentar: