PERSPEKTIF
NEGARA TERHADAP SARA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Multikultur
OLEH
SYAMSUL
ARIF
Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Sulaiman Mamar, M.Pd
Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc, Sc
PASCASARJANA (S2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PALU
2014
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kondisi kehidupan beragama
akhir-akhir ini sebagian warga negara tidak toleran terhadap perbedaan. Hal
tersebut merupakan dampak dari arus globalisasi yang disalah gunakan. Sehingga
terjadi perpecahan antar manusia karena tidak adanya toleransi terhadap
perbedaan pada manusia. Manusia yang beradab pasti bersikap toleran terhadap
perbedaan, apa pun corak perbedaan itu. Namun, dalam kenyataan empiris,
idealisme ini sering benar di runtuhkan oleh perilaku mereka yang ingin memonopoli
kebenaran atas nama agama, ideologi, atau atas nama apapun.
Negara Indonesia yang memiliki
tujuan melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tanah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Pada realitasnya sangatlah bertentangan dengan kondisi
yang saat ini kita hadapi dan rasakan.
Banyaknya daerah minta merdeka dan
sentimen kedaerahan sehingga berujung pada konflik Suku, Agama, Ras dan Antar
Golongan (SARA) mengindikasikan pemerintah Negara Indonesia tidak mampu
melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Krisis
keadilan dan Ekonomi yang berkepanjangan mengindikasikan tidak adanya kesejahteraan
umum. Minimnya infrastruktur pendidikan dan mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan Rakyat mengindikasikan Negara tidak mampu mencerdaskan kehidupan
Bangsa. Sehingga pemerintah Negara Indonesia tidak mampu ikut melaksanakan
kertibkan dunia.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Alangkah lebih baiknya kita bicarakan bersama sebagai bentuk kepedulian kita
terhadap pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk “Urun
Rembuk Kebangsaan” guna mendapatkan solusi yang dapat kita implementasikan
dalam aktivitas keseharian kita.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan/perspektif negara
terhadap SARA??
C. Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah ingin mengetahui bagaimana perspektif
Negara terhadap SARA.
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian SARA
SARA
adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas
yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan[1].
Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang
didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan
SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak
dasar yang melekat pada manusia. SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Katagori :
• Kategori pertama yaitu Individual
: merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.
Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat
menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun
golongan.
• Kategori kedua yaitu Institusional
: merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara,
baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah
membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
• Kategori ke tiga yaitu Kultural :
merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur
budaya masyarakat.[2]
Dalam
pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan
yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi
merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini
disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku,
antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi
fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau
kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis
kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral
menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
SARA
akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu sebab
terjadinya berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara suku
Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makasar dan
penduduk asli Timor yang kemudian berkembang menjadi pergesekan antaragama
Katolik dan Islam, merupakan contoh peristiwa SARA (suku, agama, ras, Antar Golongan)
di negara kita. Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan suku bangsa, maka
masalah SARA merupakan hal biasa. Tapi ada beberapa hal menarik untuk dicermati
dalam masalah SARA. Pertama, hubungan antara suku pribumi dan nonpribumi (baca:
Cina) sampai saat ini belum dapat dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu
potensial timbulnya konflik sosial. Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor
pendorong timbulnya "nasionalisme daerah", berupa upaya memisahkan
suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia, meskipun masalah ini secara
historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini memproklamasikan Sumpah
Pemuda 1928. Ketiga, ada gejala bergesernya sebab pemicu: timbulnya gejolak
sosial dari masalah SARA ke masalah yang bersifat struktural.
SARA,
khususnya agama, sering terlihat menjadi pemicu. Namun kita perlu bersikap
hati-hati sebelum mengambil kesimpulan bahwa agama "adalah pemicu
utama" pecahnya suatu konflik sosial. Faktor agama dari SARA hanya menjadi
"limbah" suatu masalah yang lebih besar, seperti masalah penguasaan
sumber daya alam, kesiapan bersaing, serta kolusi antara pejabat dan suatu etnik
tertentu. Demikian pula halnya suku dalam SARA. Sebagai contoh, kebetulan etnik
Cina atau suku Makasar dan Madura mampu bersaing dalam penguasaan sumber alam,
maka merekalah yang dijadikan tumpuan kemarahan suku yang merasa kehilangan
penguasaan sumber alamnya.[3]
B. Perspektif
Negara Terhadap SARA
Negara merupakan terjemahan dari
kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), Staat (bahasa Belanda dan
Jerman) dan etat (bahasa Perancis), kata state, staat, etat itu
diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti
keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak
dan tetap.[4]
Beberapa Ahli menoba merumuskan
pengartian Negara, diantaranya sebagai berikut:
a.
Aristoteles, Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa,
hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan
dan kehormatan bersama.
b.
Roger F. Soltau, Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
c.
George Jellinek, Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia
yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.
d.
George Wilhelm Friedrich Hegel, Negara merupakan organisasi kesusilaan yang
muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
e.
John Locke dan Rousseau, Negara
adalah suatu badan atau organisasi hasil dari pada perjanjian masyarakat.
f.
Max Weber, Negara adalah suatu
masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah.
g.
Karl Marx, Negara adalah alat kelas yang berkuasa untuk menindas atau
mengeksploitasi kelas yang lain.
h.
Miriam Budiardjo, Negara adalah
suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan
yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan
perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolis dari kekuasaan
yang sah.[5]
Berdasarkan pengertian-pengertian
Negara diatas dapat disimpulkan bahwa Negara adalah organisasi kekuasaan yang
memiliki wilayah, rakyat, pemerintahan dan tujuan tertentu. Tujuan dari
berdirinya sebuah Negara sangat dipengaruhi latar belakan Negara tersebut.
Sehingga tujuan tersebut mengarahkan interaksi sosial, dinamika politik dan
pembangunan ekonomi yang berlangsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan sejarah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) terbentuk dari Bangsa Indonesia yang terlahir dan
merdeka terlebih dahulu. Bangsa Indonesia terlahir pada tanggal 28 Oktober 1928
melalui Sumpah Pemuda yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup
Rakyat Indonesia. Tujuan tersebut kemudian menjadi komitmen bersama rakyat
Indonesia untuk menggulirkan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu hari kemudian tepatnya pada
tanggal 18 Agustus 1945 Bangsa Indonesia membentuk Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila.
Berdasarkan runtutan sejarah
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa NKRI terbentuk dari sebuah Bangsa yang terlahir
dan merdeka terlebih dahulu, barulah Negara terbentuk kemudian. Apabila
dianalogikan dengan sebuah gedung, NKRI memiliki pondasi dan bangunan, yaitu
Bangsa dan Negara. Kemudian dari analogi tersebut dapat dipastikan, apabila
Bangsa sebagai pondasi semakin melemah maka Negara sebagai bangunan pun semakin
melemah.
Oleh karena itu, NKRI dibentuk untuk
mewujudkan tujuan Indonesia terlahir dan merdeka, yaitu terangkatnya harkat dan
martabat hidup Rakyat Indonesia atau tegaknya Kedaulatan Rakyat. Tujuan tersebut
terelaborasi dalam Preambule Alinea ke-4 UUD 1945, yaitu “…Melindungi segenap
Bangsa Indonesia dan seluruh tanah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Secara struktur, NKRI dengan Negara
lain di dunia sangat berbeda. Karena Negara lain memiliki struktur, “Negara
sebagai pondasi dan Bangsa sebagai bangunan”. Dengan demikian, pegertian dan
tujuan NKRI dan Negara lain berbeda. Secara pengertian, NKRI bukanlah
Organisasi Kekuasaan, tetapi Organisasi permusyawaratan/perwakilan. Sehingga
tujuannya pun bukan memperkuat kekuasaan tetapi menegakan Kedaulatan Rakyat.
Konflik internal bernuansa suku,
agama, ras, dan antar-golongan (SARA) merupakan salah satu bentuk kekerasan
yang paling ganas. Menurut Nono AnwarMakarim, jumlah korban jiwa dalam konflik
ini lebih besar dari pada korban akibatterorisme dan perang antarnegara.[6]
Dengan mengutip Pauline H Baker dan Angeli E Weller, Makarim menyebutkan
bahwa sejak Perang Dingin berakhir, telah terjadi lebihdari 100 ‘konflik
internal’ di dunia. Definisi ‘konflik internal’ adalah setiap konflik
yang terjadi atas dasar identitas kelompok atau golongan sosial, termasuk
bahasa, ras, agama,aliran, suku, kelas, kumpulan, dalam berbagai kombinasinya.[7]
Perkembangan sejarah kebangsaan
Indonesia juga diwarnai sejumlah konflik bernuansa SARA. Menurut Tamrin
Amal Tomagola, konflik bernuansa SARA di buminusantara ini telah terjadi sejak
zaman kolonial. Gerry van Klinken bahkan menilaipersoalan SARA merupakan
warisan pra-kolonial khas Melayu yang telah ada sebelum“Indonesia” itu ada.[8]
Demikian pula pada masa awal kemerdekaan di zaman rezim OrdeLama, konflik SARA
sudah muncul ke permukaan. Namun demikian, pada dua masa itu,persoalan SARA
muncul secara wajar sebagai suatu dinamika kultural masyarakat.Berbeda dengan
dua masa sebelumnya, rezim Orde Baru berusaha menekanpersoalan SARA secara
sistematis. Pada masa Orde Baru, mengungkit-ungkit persoalanSARA merupakan
barang haram yang masuk kategori subversif yang dinilai pemerintahbakal menjadi
sumber perpecahan dan disintegrasi bangsa. Karena itu, tidak berlebihanjika
Goenawan Mohamad melukiskan Indonesia masa Orde Baru sebagai bangsa
yang hidup dalam kuburan.[9]
Rezim Orde Baru telah berhasil membangun uniformity dalam
segala bidang kehidupan sehingga pada saat itu, bangsa ini tampak menjadi
bangsa yang tenang, aman, tetapi tanpa kehidupan yang sejati.
Kuntowijoyo menilai fenomena seperti itu sebagai suatu
bentuk politisasi negaraatas masyarakat. Ideologi nasional hanya mengenal asas
tunggal Pancasila dan menafikaneksistensi golongan-golongan dalam masyarakat
dengan segala keragamannya.Nasionalisme horizontal diukur dengan kesetiaan
vertikal pada Pemerintah. UU No.5/ 74memberikan kuasa pada gubernur, bupati,
camat, dan lurah yang merupakan kepanjangantangan dari Pemerintah Pusat.[10]
Desain sistem politik Orde Baru ini justru mempunyaiandil
besar dalam memicu pertentangan SARA yang semetinya justru dianggap sebagaiproses
interaksi sosial dan dikelola agar melahirkan hubungan kooperatif dan
integratif dalam situasi masyarakat yang pluralistis.Dari perspektif
sosio-politis, Nazaruddin Sjamsuddin menilai bahwa pemerintah Orde Baru begitu
berambisi menciptakan suatu ekuilibrium semu. Hal ini tampak, antaralain,
dengan menyeimbangkan kekuatan politik minoritas non-Islam dengan
kekuatanIslam, yaitu menekan posisi umat Islam yang mayoritas. Selama berpuluh
tahun itu pulaumat Islam memendam dendam terhadap kekuatan politik non-Islam.
Ketika kemudianpendulum bergerak ke arah yang berlawanan pada awal 1990-an, dan
pemerintah Orde Baru mulai menganakemaskan kekuatan Islam tertentu, maka
kekecewaan yang menyelimuti kalangan lainnya juga tak terhindarkan.
Politik devide et impera semacam inimemupuk dendam dari masing-masing
pihak.[11]
Hal seperti ini yang oleh Ahmad Syafi’I Ma’arif disebut
sebagai “politik belah bambu” Orde Baru. Pemerintah mengangkat dan mengistimewakan
suatu golongan sembari menginjak golongan yang lain. Kondisi sepertiini yang
antara lain turut membuka peluang tumbuh suburnya konflik SARA
diIndonesia.Berbagai konflik SARA yang terjadi selama masa rezim Orde Baru –dan
bahkansampai sekarang ini- memunculkan banyak pertanyaan[12]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
SARA adalah berbagai pandangan dan
tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan,
agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan
kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan
dapat dikatakan sebagai tidakan SARA
Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang
merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana
layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
NKRI dibentuk untuk mewujudkan tujuan Indonesia terlahir dan
merdeka, yaitu terangkatnya harkat dan martabat hidup Rakyat Indonesia atau
tegaknya Kedaulatan Rakyat. Tujuan tersebut terelaborasi dalam Preambule Alinea
ke-4 UUD 1945, yaitu “…Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tanah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.”
Rezim Orde Baru telah berhasil
membangun uniformity dalam segala bidang kehidupan sehingga pada saat itu,
bangsa ini tampak menjadi bangsa yang tenang, aman, tetapi tanpa kehidupan
yang sejati.
Desain sistem politik Orde Baru ini
justru mempunyaiandil besar dalam memicu pertentangan SARA yang semetinya
justru dianggap sebagaiproses interaksi sosial dan dikelola agar melahirkan
hubungan kooperatif dan integratif dalam situasi masyarakat yang
pluralistis.Dari perspektif sosio-politis, Nazaruddin Sjamsuddin menilai bahwa
pemerintah Orde Baru begitu berambisi menciptakan suatu ekuilibrium semu. Hal
ini tampak, antaralain, dengan menyeimbangkan kekuatan politik minoritas
non-Islam dengan kekuatanIslam, yaitu menekan posisi umat Islam yang mayoritas.
Selama berpuluh tahun itu pulaumat Islam memendam dendam terhadap kekuatan
politik non-Islam. Ketika kemudianpendulum bergerak ke arah yang berlawanan
pada awal 1990-an, dan pemerintah Orde Baru mulai menganakemaskan kekuatan
Islam tertentu, maka kekecewaan yang menyelimuti kalangan lainnya juga tak
terhindarkan. Politik devide et impera semacam ini memupuk dendam dari
masing-masing pihak
DAFTAR
PUSTAKA
Gerry
van Klinken, “Decentralisation, Violence, and Democracy: The Colonial Roots of
Ethnic Conflictin Indonesia” disampaikan dalam International Conference
Indonesian Transition to Democracy: Issues and Actors in the Local and
International Perspective
Kuntowijoyo
“Kesadaran dan Perilaku” dalam Integrasi, Moral Bangsa, dan Perubahan, Yogyakarta
Divisi Penerbitan FIB UGM- Sinergi Press, 2002
Koentjaraningrat,
Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional, Jakarta: UI Press 1993
Maárif,
A. Syafií Islam dan Masalah Kenegaraan,
Jakarta: LP3ES, 1985
Mohamad,
Goenawan, Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohammad 1960-2001 Jakarta. Pusat
Data dan Analisis Tempo, 2001
Pauline
H. Baker, dan Angeli E Weller An Analytical Model of Internal Conflict and
State Collapse: Manual For Practitioners, The Fund for Peace,
Washington DC1998
Tulisan
ini merupakan salah satu bagian dari penelitian mengenai “Warisan Orde Baru:
Faktor-FaktorPenghambat Demokratisasi di Indonesia pada Masa Transisi,”
kerjasama ISAI dan DEMOS dengandukungan dana dari Universitas Melbourne,
Australia di bawah supervisi Prof. Arief Budiman.
[1]Kuntowijoyo “Kesadaran dan Perilaku” dalam Integrasi, Moral
Bangsa, dan Perubahan, (Yogyakarta Divisi Penerbitan FIB UGM- Sinergi Press,
2002) h. 21
[2]Ibid, kuntowijoyo h.38
[3]Koentjaraningrat,
Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi
Nasional, (Jakarta: UI Press 1993) h. 120
[4]A.
Syafií Maárif, Islam dan Masalah
Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985) h. 118
[5]Ibid, A. syafi’I ma’arif h. 118
[6]Tulisan ini merupakan salah satu
bagian dari penelitian mengenai “Warisan Orde Baru: Faktor-FaktorPenghambat
Demokratisasi di Indonesia pada Masa Transisi,” kerjasama ISAI dan DEMOS
dengandukungan dana dari Universitas Melbourne, Australia di bawah supervisi
Prof. Arief Budiman.
[7]Pauline H. Baker, dan Angeli E
Weller (1998) An Analytical Model of Internal Conflict and State
Collapse: Manual For Practitioners, The Fund for Peace, Washington
DC
[8]Gerry van Klinken, “Decentralisation, Violence, and
Democracy: The Colonial Roots of Ethnic Conflictin Indonesia” disampaikan dalam
International Conference Indonesian Transition to Democracy: Issues and Actors
in the Local and International Perspective
[9]Goenawan Mohamad, Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohammad
1960-2001(Pusat Data dan Analisis Tempo, Jakarta. 2001) h.96
[10]Ibid, Kuntowijoyo h. 34
[11]Ibid, A. Syafií Maárif, h. 155
[12]Ibid, A. Syafii Ma’arif, h. 156
Tidak ada komentar:
Posting Komentar