Daftar Blog Saya

Minggu, 18 Mei 2014

PERSPEKTIF NEGARA TERHADAP SARA



PERSPEKTIF NEGARA TERHADAP SARA


 








Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Multikultur



OLEH

SYAMSUL ARIF


Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Sulaiman Mamar, M.Pd
Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc, Sc








PASCASARJANA (S2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALU

2014
I.                    PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kondisi kehidupan beragama akhir-akhir ini sebagian warga negara tidak toleran terhadap perbedaan. Hal tersebut merupakan dampak dari arus globalisasi yang disalah gunakan. Sehingga terjadi perpecahan antar manusia karena tidak adanya toleransi terhadap perbedaan pada manusia. Manusia yang beradab pasti bersikap toleran terhadap perbedaan, apa pun corak perbedaan itu. Namun, dalam kenyataan empiris, idealisme ini sering benar di runtuhkan oleh perilaku mereka yang ingin memonopoli kebenaran atas nama agama, ideologi, atau atas nama apapun.
Negara Indonesia yang memiliki tujuan melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tanah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pada realitasnya sangatlah bertentangan dengan kondisi yang saat ini kita hadapi dan rasakan.
Banyaknya daerah minta merdeka dan sentimen kedaerahan sehingga berujung pada konflik Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) mengindikasikan pemerintah Negara Indonesia tidak mampu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Krisis keadilan dan Ekonomi yang berkepanjangan mengindikasikan tidak adanya kesejahteraan umum. Minimnya infrastruktur pendidikan dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan Rakyat mengindikasikan Negara tidak mampu mencerdaskan kehidupan Bangsa. Sehingga pemerintah Negara Indonesia tidak mampu ikut melaksanakan kertibkan dunia.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Alangkah lebih baiknya kita bicarakan bersama sebagai bentuk kepedulian kita terhadap pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk “Urun Rembuk Kebangsaan” guna mendapatkan solusi yang dapat kita implementasikan dalam aktivitas keseharian kita.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan/perspektif negara terhadap SARA??
C.     Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah ingin mengetahui bagaimana perspektif Negara terhadap SARA.









II.              PEMBAHASAN
A.    Pengertian SARA
SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan[1]. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA Dapat Digolongkan Dalam Tiga Katagori :
• Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.
• Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
• Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.[2]

Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
SARA akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang dianggap menjadi salah satu sebab terjadinya berbagai gejolak sosial di negara kita. Perkelahian antara suku Madura dan suku Dayak di Kalimantan Barat, perkelahian antara suku Makasar dan penduduk asli Timor yang kemudian berkembang menjadi pergesekan antaragama Katolik dan Islam, merupakan contoh peristiwa SARA (suku, agama, ras, Antar Golongan) di negara kita. Indonesia terdiri dari pulau-pulau dan suku bangsa, maka masalah SARA merupakan hal biasa. Tapi ada beberapa hal menarik untuk dicermati dalam masalah SARA. Pertama, hubungan antara suku pribumi dan nonpribumi (baca: Cina) sampai saat ini belum dapat dipecahkan, dan tetap menjadi pemicu potensial timbulnya konflik sosial. Kedua, SARA muncul kembali sebagai faktor pendorong timbulnya "nasionalisme daerah", berupa upaya memisahkan suatu wilayah dari wilayah Republik Indonesia, meskipun masalah ini secara historis seharusnya sudah selesai ketika bangsa ini memproklamasikan Sumpah Pemuda 1928. Ketiga, ada gejala bergesernya sebab pemicu: timbulnya gejolak sosial dari masalah SARA ke masalah yang bersifat struktural.
SARA, khususnya agama, sering terlihat menjadi pemicu. Namun kita perlu bersikap hati-hati sebelum mengambil kesimpulan bahwa agama "adalah pemicu utama" pecahnya suatu konflik sosial. Faktor agama dari SARA hanya menjadi "limbah" suatu masalah yang lebih besar, seperti masalah penguasaan sumber daya alam, kesiapan bersaing, serta kolusi antara pejabat dan suatu etnik tertentu. Demikian pula halnya suku dalam SARA. Sebagai contoh, kebetulan etnik Cina atau suku Makasar dan Madura mampu bersaing dalam penguasaan sumber alam, maka merekalah yang dijadikan tumpuan kemarahan suku yang merasa kehilangan penguasaan sumber alamnya.[3]
B.     Perspektif Negara Terhadap SARA
Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), Staat (bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (bahasa Perancis), kata state, staat, etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.[4]
Beberapa Ahli menoba merumuskan pengartian Negara, diantaranya sebagai berikut:
a. Aristoteles, Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
b. Roger F. Soltau, Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
c. George Jellinek, Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di suatu wilayah tertentu.
d. George Wilhelm Friedrich Hegel, Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal.
e. John Locke dan Rousseau, Negara adalah suatu badan atau organisasi hasil dari pada perjanjian masyarakat.
f. Max Weber, Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
g. Karl Marx, Negara adalah alat kelas yang berkuasa untuk menindas atau mengeksploitasi kelas yang lain.
h. Miriam Budiardjo, Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolis dari kekuasaan yang sah.[5]

Berdasarkan pengertian-pengertian Negara diatas dapat disimpulkan bahwa Negara adalah organisasi kekuasaan yang memiliki wilayah, rakyat, pemerintahan dan tujuan tertentu. Tujuan dari berdirinya sebuah Negara sangat dipengaruhi latar belakan Negara tersebut. Sehingga tujuan tersebut mengarahkan interaksi sosial, dinamika politik dan pembangunan ekonomi yang berlangsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk dari Bangsa Indonesia yang terlahir dan merdeka terlebih dahulu. Bangsa Indonesia terlahir pada tanggal 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Rakyat Indonesia. Tujuan tersebut kemudian menjadi komitmen bersama rakyat Indonesia untuk menggulirkan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu hari kemudian tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945 Bangsa Indonesia membentuk Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila.
Berdasarkan runtutan sejarah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa NKRI terbentuk dari sebuah Bangsa yang terlahir dan merdeka terlebih dahulu, barulah Negara terbentuk kemudian. Apabila dianalogikan dengan sebuah gedung, NKRI memiliki pondasi dan bangunan, yaitu Bangsa dan Negara. Kemudian dari analogi tersebut dapat dipastikan, apabila Bangsa sebagai pondasi semakin melemah maka Negara sebagai bangunan pun semakin melemah.
Oleh karena itu, NKRI dibentuk untuk mewujudkan tujuan Indonesia terlahir dan merdeka, yaitu terangkatnya harkat dan martabat hidup Rakyat Indonesia atau tegaknya Kedaulatan Rakyat. Tujuan tersebut terelaborasi dalam Preambule Alinea ke-4 UUD 1945, yaitu “…Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tanah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Secara struktur, NKRI dengan Negara lain di dunia sangat berbeda. Karena Negara lain memiliki struktur, “Negara sebagai pondasi dan Bangsa sebagai bangunan”. Dengan demikian, pegertian dan tujuan NKRI dan Negara lain berbeda. Secara pengertian, NKRI bukanlah Organisasi Kekuasaan, tetapi Organisasi permusyawaratan/perwakilan. Sehingga tujuannya pun bukan memperkuat kekuasaan tetapi menegakan Kedaulatan Rakyat.
Konflik internal bernuansa suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling ganas. Menurut Nono AnwarMakarim, jumlah korban jiwa dalam konflik ini lebih besar dari pada korban akibatterorisme dan perang antarnegara.[6] Dengan mengutip Pauline H Baker dan Angeli E Weller, Makarim menyebutkan bahwa sejak Perang Dingin berakhir, telah terjadi lebihdari 100 ‘konflik internal’ di dunia. Definisi ‘konflik internal’ adalah setiap konflik yang terjadi atas dasar identitas kelompok atau golongan sosial, termasuk bahasa, ras, agama,aliran, suku, kelas, kumpulan, dalam berbagai kombinasinya.[7]
Perkembangan sejarah kebangsaan Indonesia juga diwarnai sejumlah konflik bernuansa SARA. Menurut Tamrin Amal Tomagola, konflik bernuansa SARA di buminusantara ini telah terjadi sejak zaman kolonial. Gerry van Klinken bahkan menilaipersoalan SARA merupakan warisan pra-kolonial khas Melayu yang telah ada sebelum“Indonesia” itu ada.[8] Demikian pula pada masa awal kemerdekaan di zaman rezim OrdeLama, konflik SARA sudah muncul ke permukaan. Namun demikian, pada dua masa itu,persoalan SARA muncul secara wajar sebagai suatu dinamika kultural masyarakat.Berbeda dengan dua masa sebelumnya, rezim Orde Baru berusaha menekanpersoalan SARA secara sistematis. Pada masa Orde Baru, mengungkit-ungkit persoalanSARA merupakan barang haram yang masuk kategori subversif yang dinilai pemerintahbakal menjadi sumber perpecahan dan disintegrasi bangsa. Karena itu, tidak berlebihanjika Goenawan Mohamad melukiskan Indonesia masa Orde Baru sebagai bangsa yang hidup dalam kuburan.[9]
Rezim Orde Baru telah berhasil membangun uniformity dalam segala bidang kehidupan sehingga pada saat itu, bangsa ini tampak menjadi bangsa yang tenang, aman, tetapi tanpa kehidupan yang sejati.
Kuntowijoyo menilai fenomena seperti itu sebagai suatu bentuk politisasi negaraatas masyarakat. Ideologi nasional hanya mengenal asas tunggal Pancasila dan menafikaneksistensi golongan-golongan dalam masyarakat dengan segala keragamannya.Nasionalisme horizontal diukur dengan kesetiaan vertikal pada Pemerintah. UU No.5/ 74memberikan kuasa pada gubernur, bupati, camat, dan lurah yang merupakan kepanjangantangan dari Pemerintah Pusat.[10]
Desain sistem politik Orde Baru ini justru mempunyaiandil besar dalam memicu pertentangan SARA yang semetinya justru dianggap sebagaiproses interaksi sosial dan dikelola agar melahirkan hubungan kooperatif dan integratif dalam situasi masyarakat yang pluralistis.Dari perspektif sosio-politis, Nazaruddin Sjamsuddin menilai bahwa pemerintah Orde Baru begitu berambisi menciptakan suatu ekuilibrium semu. Hal ini tampak, antaralain, dengan menyeimbangkan kekuatan politik minoritas non-Islam dengan kekuatanIslam, yaitu menekan posisi umat Islam yang mayoritas. Selama berpuluh tahun itu pulaumat Islam memendam dendam terhadap kekuatan politik non-Islam. Ketika kemudianpendulum bergerak ke arah yang berlawanan pada awal 1990-an, dan pemerintah Orde Baru mulai menganakemaskan kekuatan Islam tertentu, maka kekecewaan yang menyelimuti kalangan lainnya juga tak terhindarkan. Politik devide et impera semacam inimemupuk dendam dari masing-masing pihak.[11]
Hal seperti ini yang oleh Ahmad Syafi’I Ma’arif disebut sebagai “politik belah bambu” Orde Baru. Pemerintah mengangkat dan mengistimewakan suatu golongan sembari menginjak golongan yang lain. Kondisi sepertiini yang antara lain turut membuka peluang tumbuh suburnya konflik SARA diIndonesia.Berbagai konflik SARA yang terjadi selama masa rezim Orde Baru –dan bahkansampai sekarang ini- memunculkan banyak pertanyaan[12]



III.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA
Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
NKRI dibentuk untuk mewujudkan tujuan Indonesia terlahir dan merdeka, yaitu terangkatnya harkat dan martabat hidup Rakyat Indonesia atau tegaknya Kedaulatan Rakyat. Tujuan tersebut terelaborasi dalam Preambule Alinea ke-4 UUD 1945, yaitu “…Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tanah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Rezim Orde Baru telah berhasil membangun uniformity dalam segala bidang kehidupan sehingga pada saat itu, bangsa ini tampak menjadi bangsa yang tenang, aman, tetapi tanpa kehidupan yang sejati.
Desain sistem politik Orde Baru ini justru mempunyaiandil besar dalam memicu pertentangan SARA yang semetinya justru dianggap sebagaiproses interaksi sosial dan dikelola agar melahirkan hubungan kooperatif dan integratif dalam situasi masyarakat yang pluralistis.Dari perspektif sosio-politis, Nazaruddin Sjamsuddin menilai bahwa pemerintah Orde Baru begitu berambisi menciptakan suatu ekuilibrium semu. Hal ini tampak, antaralain, dengan menyeimbangkan kekuatan politik minoritas non-Islam dengan kekuatanIslam, yaitu menekan posisi umat Islam yang mayoritas. Selama berpuluh tahun itu pulaumat Islam memendam dendam terhadap kekuatan politik non-Islam. Ketika kemudianpendulum bergerak ke arah yang berlawanan pada awal 1990-an, dan pemerintah Orde Baru mulai menganakemaskan kekuatan Islam tertentu, maka kekecewaan yang menyelimuti kalangan lainnya juga tak terhindarkan. Politik devide et impera semacam ini memupuk dendam dari masing-masing pihak








DAFTAR PUSTAKA
Gerry van Klinken, “Decentralisation, Violence, and Democracy: The Colonial Roots of Ethnic Conflictin Indonesia” disampaikan dalam International Conference Indonesian Transition to Democracy: Issues and Actors in the Local and International Perspective 

Kuntowijoyo “Kesadaran dan Perilaku” dalam Integrasi, Moral Bangsa, dan Perubahan, Yogyakarta Divisi Penerbitan FIB UGM- Sinergi Press, 2002

Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Jakarta: UI Press 1993
Maárif, A. Syafií Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985

Mohamad, Goenawan, Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohammad 1960-2001 Jakarta. Pusat Data dan Analisis Tempo, 2001

Pauline H. Baker, dan Angeli E Weller An Analytical Model of Internal Conflict and State Collapse:  Manual For Practitioners, The Fund for Peace, Washington DC1998

Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari penelitian mengenai “Warisan Orde Baru: Faktor-FaktorPenghambat Demokratisasi di Indonesia pada Masa Transisi,” kerjasama ISAI dan DEMOS dengandukungan dana dari Universitas Melbourne, Australia di bawah supervisi Prof. Arief Budiman.





[1]Kuntowijoyo “Kesadaran dan Perilaku” dalam Integrasi, Moral Bangsa, dan Perubahan, (Yogyakarta Divisi Penerbitan FIB UGM- Sinergi Press, 2002) h. 21
[2]Ibid, kuntowijoyo h.38
[3]Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, (Jakarta: UI Press 1993) h. 120
[4]A. Syafií Maárif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985) h. 118
[5]Ibid, A. syafi’I ma’arif h. 118
[6]Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari penelitian mengenai “Warisan Orde Baru: Faktor-FaktorPenghambat Demokratisasi di Indonesia pada Masa Transisi,” kerjasama ISAI dan DEMOS dengandukungan dana dari Universitas Melbourne, Australia di bawah supervisi Prof. Arief Budiman.
[7]Pauline H. Baker, dan Angeli E Weller (1998) An Analytical Model of Internal Conflict and State Collapse:  Manual For Practitioners, The Fund for Peace, Washington DC
[8]Gerry van Klinken, “Decentralisation, Violence, and Democracy: The Colonial Roots of Ethnic Conflictin Indonesia” disampaikan dalam International Conference Indonesian Transition to Democracy: Issues and Actors in the Local and International Perspective 
[9]Goenawan Mohamad, Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohammad 1960-2001(Pusat Data dan Analisis Tempo, Jakarta. 2001) h.96

[10]Ibid, Kuntowijoyo h. 34
[11]Ibid, A. Syafií Maárif, h. 155

[12]Ibid, A. Syafii Ma’arif, h. 156

Tidak ada komentar: