TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN BEHAVIORISTIK
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Teori Belajar dan
Model-model Pembelajaran
OLEH
SYAMSUL
ARIF
Dosen Pengampu
Dr. H. Askar, M.Pd
Dr. Adam, M.Pd, M.si
PASCASARJANA (S2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PALU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Belajar merupakan suatu tindakan dan perilaku siswa yang
sangat kompleks dalam mencari dan menerima suatu ilmu pengetahuan. Dalam
belajar terdapat interaksi antara guru (pendidik) dengan siswa (peserta didik)
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran akan tercapai jika
penerapan pembelajaran sesuai dengan kondisi peserta didik yang beragam.
Selama ini proses belajar hanya bertumpu kepada pendidik
sebagai sumber utama, sehingga peserta didik kurang terlibat dalam
pembelajaran, karena peserta didik dikatakan belajar apabila mereka mampu
mengingat dan menghafal informasi atau pelajaran yang telah disampaikan.
Pembelajaran seperti ini tidak akan membuat peserta didik menjadi aktif,
mandiri dan mengembangkan pengetahuannya berdasarkan pengalaman belajar yang
telah mereka lakukan. Sedangkan seiring kemajuan zaman dan teknologi,
dibutuhkan SDM (Sumber Daya Manusia) dengan karakteristik yang baik.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan di atas adalah
adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi,
seperti student active learning. Penerapan ajaran tut wuri handayani juga
merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka
menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang
memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika
individu belajar. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dan teori
humanstik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan
tersebut.
B. Rumusan
Masalah
Dari
pemaparan latar belakang diatas maka kami mengajukan beberapa rumusan
permasalahan yang akan menjadi inti pembahasan makalah ini. Adapun permasalahan
itu sebagai berikut:
1.
Bagaimana teori belajar humanistik?
2.
Bagaimana teori belajar konstruktif?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini selain sebagai pemenuhan tugas dari bapak/ibu
dosen yang akhirnya untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan diatas juga
diharapkan makalah ini nantinya akan menjadi bahan bacaan/referensi bagi para
pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
Belajar Humanistik
Psikologi humanistik menekankan kebebasan personal, pilihan,
kepekaan dan tanggung jawab personal. Sebagaimana yang dinyatakan secara tidak
langsung oleh tema itu, psikologi humanism juga memfokuskan pada prestasi,
motivasi, perasaan, tindakan dan kebutuhan akan umat manusia. Akhir dari
perkembangan pribadi manusia adalah mengaktualisasikan dirinya, mampu
mengembangkan potensinya secara utuh, bermakna dan berfungsi bagi kehidupan
dirinya dan lingkungannya[1]
Teori humanisme merupakan konsep belajar yang lebih melihat
pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk
mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan
tersebut.
Teori belajar humanistik sifatnya sangat mementingkan isi
yang dipelajari dari pada proses belajar itu. Teori belajar ini lebih banyak
berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusi yang
dicita-citakan dan bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri serta
tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal[2]
Tujuan belajar menurut teori ini adalah memanusiakan manusia
artinya perilaku tiap orang ditentukan oleh orang itu sendiri dan memahami
manusia terhadap lingkungan dan dirinya sendiri.Menurut para pendidik aliran
ini penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan
perhatian siswa. Tujuan utama pendidik adalah membantu siswa mengembangkan
dirinya yaitu membantu individu untuk mengenal dirinya sendiri sebagai manusia
yang unik dan membantu mewujudkan potensi mereka. Para ahli humanistic melihat
adanya dua bagian pada proses belajar yaitu proses pemerolehan informasi baru
dan personalisasi informasi ini pada individu.[3]
Sesuai beberapa pendapat-pendapat di atas teori Humanistik
adalah suatu teori yang mana manusia itu dapat mengaktualisasikan dirinya
sesuai dengan peunjuk-petunjuk yang baik serta mampu mengembangkan potensinya
secara utuh, bermakna dan berfungsi bagi kehidupan dirinya dan lingkungannya.
1. Proses
Belajar menurut Humanistik
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai
fasilitator. Berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan
belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat
singkat dari beberapa (petunjuk)[4]:
a.
Fasilitator sebaiknya memberi
perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman
kelas
b.
Fasilitator membantu untuk
memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan
kelompok yang bersifat umum.
c.
Dia mempercayai adanya keinginan
dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi
dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang
bermakna tadi.
d.
Dia mencoba mengatur dan menyediakan
sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa
untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e.
Dia menempatkan dirinya sendiri
sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.
Di dalam menanggapi
ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat
intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara
yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
g.
Bilamana cuaca penerima kelas telah
mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa
yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan
pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
h.
Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta
dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga
tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja
digunakan atau ditolak oleh siswa
i.
Dia harus tetap waspada terhadap
ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama
belajar
j.
Di dalam berperan sebagai seorang
fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
2.
Aplikasi
Belajar Menurut Teori Humanistik
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan
dalam konteks yang lebih praktis. Teori dianggap lebih dekat dengan bidang
filsafat, teori kepribadian dan psykoterapi dari pada pada bidang pendidikan,
sehingga sukar menerjemahkannya kedalam langkah-langkah lebih kongkrit dan
praktis. Namun karena sifatnya yang ideal itulah yaitu memanusiakan manusia
maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen
pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam
memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas sehingga upaya pembelajaran
apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan untuk mencapai
pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sanagat
besar, dapat membantu para guru dan pendidik memahami hakikat kejiwaan manusia.
Dapat menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan,
pemilihan strategi pembelajaran serta pengembangan alat evaluasi kearah
pembentukan manusia yang dicitakan.
Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan
siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar[5].
Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-lagkah
pembelajaran dengan pendekaan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah
pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Praetya Irawan dapat digunakan
sebagai acuan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
- Menetukan materi pelajaran.
- Mengidentifikasi kemampuan awal siswa.
4.
Mengidentifikasi topik-topoik
pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami
dalam belajar[6]
Salah satu tokoh teori ini adalah Abraham Maslow Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam
diri individu ada dua hal :
(1)
Suatu usaha yang positif untuk berkembang.
(2)
Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut
seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil
kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi
di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah
keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah
kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima
diri sendiri(self).
Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama,
seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang
terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan yang bersifat hirarkis. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini
mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu
ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini
mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi[7]
B. Teori
Belajar Konstruktivistik
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang
lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta
upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan
imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif[8]
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak
dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya,
bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Adapun perkembangan kognitif itu dipengaruhi oleh tiga
dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan
data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah
penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah
penyesuaian kembali yang secara terus menerus dilakukan antara asimilasi dan
akomodasi[9]
Jadi teori ini menegaskan bahwa pengetahuan itu mutlak
diperoleh dari konstruksi/pembentukan pemahaman dalam diri seseorang terhadap
bahan yang mereka pelajari dan juga melalui pengalaman yang diterima oleh panca
indra.
1.
Proses belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Peranan
Siswa (Si-belajar).
Menurut teori konstruktivistik, belajar adalah proses pemaknaan atau penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Proses tersebut harus dilakukan oleh siswa (Si-belajar), karena
pembelajaran konstruktivistik lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan
atau pandangan si belajar. Sehingga siswa bisa memiliki pemahaman yang berbeda
terhadap pengetahuan yang dipelajari. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif
berpikir, menyusun konsep dan memberi masukan tentang hal-hal yang sedang dipelajari.
Guru harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang member peluang
optimal bagi terjadinya belajar. namun yang akhirnya paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah
lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada
siswa.[10]
Peranan Guru. Dalam proses belajar konstruktivistik, guru atau pendidik
berperan sebagai fasilitator artinya membantu siswa untuk membentuk
pengetahuannya sendiri dan proses pengkonstruksian pengetahuan berjalan lancar.
Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang dimilikinya pada siswa tetapi
dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang setiap siswa dalam
belajar.
Peranan
utama guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi :
- Menumbuhkan kemandirian pada siswa dengan memberikan kesempatan untuk bertindak dan mengambil keputusan.
- Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa agar dapat melakukan sesuatunya dengan baik.
- Memberikan kemudahan dalam belajar dengan menyediakan fasilitas yang mendukung dan memberi peluang yang optimal bagi siswa.[11]
Sarana belajar.
Pusat kegiatan pembelajaran konstruktivistik adalah siswa. Dalam proses
belajar, siswa berusaha menggali dan membentuk pengetahuannya sendiri serta
bebas dalam mengungkapkan pendapat dan pemikirannya. Sehingga segala sesuatu
seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan
untuk membantu proses belajar tersebut.[12]
Dengan demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri,
mandiri, kritis, kreatif dan mampu bertanggung jawab.
Evaluasi belajar. Lingkungan belajar dimana kegiatan belajar
dilaksanakan sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi
terhadap realitas. Sedangkan menurut pandangan konstruktivistik, realitas ada
pada pikiran seseorang, sehingga manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya
berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya sendiri.
Pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation,
yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik.
Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik,
memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.[13]
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dan menekankan pada keterampilan
proses dalam kelompok. Bentuk-bentuk evaluasi ini dapat diarahkan pada tugas-tugas
autentik, tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta
menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata serta mengkonstruksi
pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi dan
mengkonstruksi pengalaman siswa dan mengarahkannya pada konteks yang lebih
luas.
2. Aplikasi
belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah
kriteria dan pendapat sejumlah ahli, menyimpulkan tentang lima unsur penting
dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu[14]:
a. Memperhatikan
dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan
baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena
itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan
teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
b. Pengalaman
belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran
dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat,
sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan
dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari
usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan
sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
c. Adanya
lingkungan sosial yang kondusif
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara
produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada
kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
d. Adanya
dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses
belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan
refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
e. Adanya
usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori),
namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga
harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang
cukup baik dimana siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima
pelajaran yang pasti seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada
pelajaran pkn, tentang tolong menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun
langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolong
menolong terbangun. Dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih lanjut.
Siswa lebih mamahami makna ketimbang konsep.
Salah satu pakar teori belajar konstruktivistik adalah
Jerome Brunner .Belajar penemuan (Discovery learning) dari Jerome Brunner
adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan kepada pandangan kognitif
tentang pembelajaran dan konstruktivisme. Siswa belajar melalui keterlibatan
aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk
mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka
menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka sendiri.[15]
Pada pengembangan model pengajaran kurikulum berbasis
kompetensi, teori kontruktivisme ini banyak memberikan sumbangan terhadap
pengembangan Model pembelajaran kooperative dan model pembelajaran berdasarkan
masalah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Teori humanisme merupakan konsep belajar yang lebih melihat
pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk
mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan
tersebut.
Teori belajar humanistik sifatnya sangat mementingkan isi
yang dipelajari dari pada proses belajar itu. Teori belajar ini lebih banyak
berbicara tentang konsep -konsep pendidikan untuk membentuk manusi yang dicita-citakan
dan bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri serta tentang proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dalam aplikasinya teori humanistik
mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung
tercapainya tujuan tersebut.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam
memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas sehingga upaya pembelajaran
apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan untuk mencapai
pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sanagat
besar, dapat membantu para guru dan pendidik memahami hakikat kejiwaan manusia
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang
lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya
dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan
imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dalam aplikasinya teori ini memuat beberapa point: Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan
awal siswa, Pengalaman belajar
yang autentik dan bermakna, Adanya lingkungan sosial yang kondusif, Adanya
dorongan agar siswa bisa mandiri dan Adanya usaha untuk mengenalkan siswa
tentang dunia ilmiah.
B. Saran
Dari kesimpulan yang penulis paparkan, maka saya dapat
memberi sedikit saran kepada para guru atau pendidik dalam pembelajaran bahwa dengan menggunakan kedua
pendekatan teori belajar diatas, guru menjadi fasilitator bagi para siswa dengan memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan. Guru memfasilitasi
pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan
pembelajaran. Sehingga siswa mampu memahami potensi
diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi
diri yang bersifat negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, Asri Belajar dan Pembelajaran, Jakarta:
Rineka Cipta, 2005.
Desmita.. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung:PT Rosdakarya, 2010.
Palyono, M, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta, 1997.
Sa’dullah,Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, .Bandung:
Al Fabeta, 2003.
Soemanto, Wasty, Pikologi Pendidikan, Jakarta: Bina
Aksara, 1987.
Sunarno, Wiji, Dasar Ilmu Pendidikan, Jogjakarta: Ar
Ruzz, 2006
Yudhawati, Ratna dan Dani Haryanto. Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT Prestasi Pustakarya 2011.
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2011.
[1]Drs.Uyoh Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan,
(Bandung: Al Fabeta, 2003) hlm.173-174
[2] Asri Budiningsih, Belajar
dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005)hlm.68
[3]Desmita. Psikologi
Perkembangan Peserta Didik. Bandung:PT Remaja Rosdakarya 2010.
[4]Wasty Soemanto, Pikologi
Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1987)hlm. 129
[5]Ibid, Uyoh Sa’dullah h. 150
[6]Asri Budiningsih, Belajar dan
Pembelajaran, hlm. 76-77
[7] Palyono, M, Psikologi
Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)hlm.46
[8]Muhibbin Syah, , Psikologi
Belajar. Jakarta: PT Remaja Grafindo Persada. 2011), 35
[9]Ratna Yudhawati, dan Dani Haryanto. 2011. Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta:
PT Prestasi Pustakarya) h.94
[10]Asri Budiningsih, Belejar dan
Pembelajaran, hlm.58-59
[12]Ibid,
Desmita h. 125
[13]Ibid,
Desmita h. 127
[14]Wiji Sunarno, Dasar Ilmu Pendidikan,
(Jogjakarta: Ar Ruzz, 2006) 58
[15]Ibid, Wiji h. 71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar