Daftar Blog Saya

Jumat, 09 Mei 2014

Teori Belajar Humanistik Dan Behavioristik



TEORI BELAJAR HUMANISTIK DAN BEHAVIORISTIK



 








Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran



OLEH

SYAMSUL ARIF


Dosen Pengampu
Dr. H. Askar, M.Pd
Dr. Adam, M.Pd, M.si






PASCASARJANA (S2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALU

2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Belajar merupakan suatu tindakan dan perilaku siswa yang sangat kompleks dalam mencari dan menerima suatu ilmu pengetahuan. Dalam belajar terdapat interaksi antara guru (pendidik) dengan siswa (peserta didik) untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran akan tercapai jika penerapan pembelajaran sesuai dengan kondisi peserta didik yang beragam.
Selama ini proses belajar hanya bertumpu kepada pendidik sebagai sumber utama, sehingga peserta didik kurang terlibat dalam pembelajaran, karena peserta didik dikatakan belajar apabila mereka mampu mengingat dan menghafal informasi atau pelajaran yang telah disampaikan. Pembelajaran seperti ini tidak akan membuat peserta didik menjadi aktif, mandiri dan mengembangkan pengetahuannya berdasarkan pengalaman belajar yang telah mereka lakukan. Sedangkan seiring kemajuan zaman dan teknologi, dibutuhkan SDM (Sumber Daya Manusia) dengan karakteristik yang baik.
Langkah strategis bagi perwujudan tujuan di atas adalah adanya layanan ahli kependidikan yang berhasil guna dan berdaya guna tinggi, seperti student active learning. Penerapan ajaran tut wuri handayani juga merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika individu belajar. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dan teori humanstik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.
B.  Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang diatas maka kami mengajukan beberapa rumusan permasalahan yang akan menjadi inti pembahasan makalah ini. Adapun permasalahan itu sebagai berikut:
1.      Bagaimana teori belajar humanistik?
2.      Bagaimana teori belajar konstruktif?
C.  Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain sebagai pemenuhan tugas dari bapak/ibu dosen yang akhirnya untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan diatas juga diharapkan makalah ini nantinya akan menjadi bahan bacaan/referensi bagi para pembaca.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Teori Belajar Humanistik
Psikologi humanistik menekankan kebebasan personal, pilihan, kepekaan dan tanggung jawab personal. Sebagaimana yang dinyatakan secara tidak langsung oleh tema itu, psikologi humanism juga memfokuskan pada prestasi, motivasi, perasaan, tindakan dan kebutuhan akan umat manusia. Akhir dari perkembangan pribadi manusia adalah mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan potensinya secara utuh, bermakna dan berfungsi bagi kehidupan dirinya dan lingkungannya[1]
Teori humanisme merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut.
Teori belajar humanistik sifatnya sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusi yang dicita-citakan dan bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal[2]
Tujuan belajar menurut teori ini adalah memanusiakan manusia artinya perilaku tiap orang ditentukan oleh orang itu sendiri dan memahami manusia terhadap lingkungan dan dirinya sendiri.Menurut para pendidik aliran ini penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama pendidik adalah membantu siswa mengembangkan dirinya yaitu membantu individu untuk mengenal dirinya sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan potensi mereka. Para ahli humanistic melihat adanya dua bagian pada proses belajar yaitu proses pemerolehan informasi baru dan personalisasi informasi ini pada individu.[3]
Sesuai beberapa pendapat-pendapat di atas teori Humanistik adalah suatu teori yang mana manusia itu dapat mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan peunjuk-petunjuk yang baik serta mampu mengembangkan potensinya secara utuh, bermakna dan berfungsi bagi kehidupan dirinya dan lingkungannya.
1.      Proses Belajar menurut Humanistik
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.  Berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa (petunjuk)[4]:
a.    Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
b.    Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c.    Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
d.   Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e.    Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.     Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
g.    Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
h.    Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
i.      Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
j.      Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

2.      Aplikasi Belajar Menurut Teori Humanistik
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psykoterapi dari pada pada bidang pendidikan, sehingga sukar menerjemahkannya kedalam langkah-langkah lebih kongkrit dan praktis. Namun karena sifatnya yang ideal itulah yaitu memanusiakan manusia maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan untuk mencapai pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sanagat besar, dapat membantu para guru dan pendidik memahami hakikat kejiwaan manusia. Dapat menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, pemilihan strategi pembelajaran serta pengembangan alat evaluasi kearah pembentukan manusia yang dicitakan.
Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar[5]. Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-lagkah pembelajaran dengan pendekaan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Praetya Irawan dapat digunakan sebagai acuan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
  2. Menetukan materi pelajaran.
  3. Mengidentifikasi kemampuan awal siswa.
4.      Mengidentifikasi topik-topoik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar[6]

Salah satu tokoh teori ini adalah Abraham Maslow Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
(1)   Suatu usaha yang positif untuk berkembang.
(2)   Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi[7]


B.  Teori Belajar Konstruktivistik
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif[8]
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Adapun perkembangan kognitif itu dipengaruhi oleh tiga dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi[9]
Jadi teori ini menegaskan bahwa pengetahuan itu mutlak diperoleh dari konstruksi/pembentukan pemahaman dalam diri seseorang terhadap bahan yang mereka pelajari dan juga melalui pengalaman yang diterima oleh panca indra.
1.      Proses belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Peranan Siswa (Si-belajar). Menurut teori konstruktivistik, belajar adalah proses pemaknaan atau penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Proses tersebut harus dilakukan oleh siswa (Si-belajar), karena pembelajaran konstruktivistik lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar. Sehingga siswa bisa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi masukan tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang member peluang optimal bagi terjadinya belajar. namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.[10]
Peranan Guru. Dalam proses belajar konstruktivistik, guru atau pendidik berperan sebagai fasilitator artinya membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan proses pengkonstruksian pengetahuan berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang dimilikinya pada siswa tetapi dituntut untuk memahami jalan pikiran atau cara pandang setiap siswa dalam belajar.
Peranan utama guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi :
  1. Menumbuhkan kemandirian pada siswa dengan memberikan kesempatan untuk bertindak dan mengambil keputusan.
  2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa agar dapat melakukan sesuatunya dengan baik.
  3. Memberikan kemudahan dalam belajar dengan menyediakan fasilitas yang mendukung dan memberi peluang yang optimal bagi siswa.[11]

Sarana belajar. Pusat kegiatan pembelajaran konstruktivistik adalah siswa. Dalam proses belajar, siswa berusaha menggali dan membentuk pengetahuannya sendiri serta bebas dalam mengungkapkan pendapat dan pemikirannya. Sehingga segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu proses belajar tersebut.[12] Dengan demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, mandiri, kritis, kreatif dan mampu bertanggung jawab.
Evaluasi belajar. Lingkungan belajar dimana kegiatan belajar dilaksanakan sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas. Sedangkan menurut pandangan konstruktivistik, realitas ada pada pikiran seseorang, sehingga manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya sendiri.
Pandangan konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik.[13] Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dan menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok. Bentuk-bentuk evaluasi ini dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata serta mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi dan mengkonstruksi pengalaman siswa dan mengarahkannya pada konteks yang lebih luas.
2.      Aplikasi belajar Menurut Teori Konstruktivistik
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu[14]:
a.     Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
b.    Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
c.     Adanya lingkungan sosial yang kondusif
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
d.    Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
e.     Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang konsep.
Salah satu pakar teori belajar konstruktivistik adalah Jerome Brunner .Belajar penemuan (Discovery learning) dari Jerome Brunner adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan konstruktivisme. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka sendiri.[15]
Pada pengembangan model pengajaran kurikulum berbasis kompetensi, teori kontruktivisme ini banyak memberikan sumbangan terhadap pengembangan Model pembelajaran kooperative dan model pembelajaran berdasarkan masalah.

  
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Teori humanisme merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut.
Teori belajar humanistik sifatnya sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep -konsep pendidikan untuk membentuk manusi yang dicita-citakan dan bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dalam aplikasinya teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan untuk mencapai pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sanagat besar, dapat membantu para guru dan pendidik memahami hakikat kejiwaan manusia
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dalam aplikasinya teori ini memuat beberapa point: Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa, Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna, Adanya lingkungan sosial yang kondusif, Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri dan Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.

B.  Saran
Dari kesimpulan yang penulis paparkan, maka saya dapat memberi sedikit saran kepada para guru atau pendidik dalam pembelajaran bahwa dengan menggunakan kedua pendekatan teori belajar diatas, guru menjadi fasilitator bagi para siswa dengan memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Sehingga siswa mampu memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.






DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, Asri Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Desmita.. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung:PT Rosdakarya, 2010.
Palyono, M, Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sa’dullah,Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, .Bandung: Al Fabeta, 2003.
Soemanto, Wasty, Pikologi Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Sunarno, Wiji, Dasar Ilmu Pendidikan, Jogjakarta: Ar Ruzz, 2006
Yudhawati, Ratna dan Dani Haryanto. Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Prestasi Pustakarya 2011.

Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2011.




[1]Drs.Uyoh Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al Fabeta, 2003) hlm.173-174

[2] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005)hlm.68
[3]Desmita. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung:PT Remaja Rosdakarya 2010.

[4]Wasty Soemanto, Pikologi Pendidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1987)hlm. 129
[5]Ibid, Uyoh Sa’dullah h. 150

[6]Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, hlm. 76-77

[7] Palyono, M, Psikologi Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)hlm.46

[8]Muhibbin Syah, , Psikologi Belajar. Jakarta: PT Remaja Grafindo Persada. 2011), 35

[9]Ratna Yudhawati, dan Dani Haryanto. 2011. Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Prestasi Pustakarya) h.94
[10]Asri Budiningsih, Belejar dan Pembelajaran, hlm.58-59
[11]Ibid, Ratna Yudhawati, dan Dani Haryanto h. 114

[12]Ibid, Desmita h. 125
[13]Ibid, Desmita h. 127

[14]Wiji Sunarno, Dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar Ruzz, 2006) 58
[15]Ibid, Wiji h. 71

Tidak ada komentar: